Senam Nusantara

Oleh: Dahlan Iskan

Rabu, 28 April 2021 – 04:31 WIB
Foto: Disway

jpnn.com - Saya bertemu begitu banyak orang di bagian cell cure rumah sakit kepresidenan RSPAD Gatot Subroto Jakarta, kemarin.

Sebagian besar adalah sukarelawan entah apa namanya itu --yang dulu sering disebut Vaksin Nusantara.

BACA JUGA: Anggota DPR RI Menerima Suntikan Sel Deindritik Vaksin Nusantara di RSPAD

Yang 15 orang di antara mereka adalah sukarelawan dari grup SDI (Senam Dahlan Iskan) Surabaya.

Saya lihat ada juga La Nyala Mattalitti, Ketua DPD RI. Juga salah satu pimpinan DPD Silviana Murni. Yang dulu pasangan AHY di Pilkada Jakarta. Terlihat juga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Halim Gultom.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Angkat Bicara soal Vaksin Nusantara, Singgung Politikus dan Lawyer

Saya pun kemarin menjalani suntik bukan-vaksin itu. Sebagai pasien biasa. Bukan sebagai objek penelitian fase dua.

Saya harus menunjukkan kupon yang diberikan minggu lalu. Nomornya dicocokkan dengan nomor yang ada di tabung kecil yang siap disuntikkan: cocok. Saya difoto. Tangan kanan pegang tabung suntik. Tangan kiri pegang kupon. Nomornya sama.

BACA JUGA: RSPAD Memastikan Penelitian Vaksin Nusantara Mengikuti Kaidah Ilmiah

Setelah difoto, saya menyerahkan tabung suntik itu ke dokter Terawan Putranto yang letnan jendral angkatan darat itu.

Dia sudah sejak tadi berdiri di sebelah saya. Ia sudah siap menyuntikkan vaksin itu --atau bukan vaksin itu.

Saya salah: kok saya pakai baju lengan panjang. Dokter Terawan harus menaikkan lengan baju saya sampai dekat ketiak. Tidak berhasil. Terlalu ketat.

"Tidak apa-apa. Disuntikkan di sini saja," katanya. "Ini tidak harus disuntikkan di otot. Di sini juga boleh," katanya. "Di sini" yang dimaksud adalah delapan sentimeter di atas tekukan siku.

Semula, saya mengira penyuntikannya sangat pelan. Mirip memasukkan sel dalam stemcell. Ternyata tidak. Cepat sekali. Seperti suntik biasa.

Selesai.

Saya harus menunggu di ruang sebelah selama 30 menit. Untuk melihat apakah ada reaksi negatif yang perlu diantisipasi.

Tidak ada. Saya langsung bisa pulang.

Namun, saya tertahan agak lama di situ. Saya diajak ngobrol panjang oleh Pak Nyala dan Bu Silvi. Saya juga harus menunggu rombongan dari Surabaya selesai salat Asar di musala.

Saya ingin melihat rombongan itu berangkat kembali menuju Surabaya --lewat jalan tol.

Sampai malam tadi, saya tidak merasakan gejala efek samping negatif. Di ruang tunggu pun saya banyak bertanya kepada yang sudah divaksinasi minggu lalu.

"Tidak ada rasa apa pun," ujar Halim, dari PBNU itu.

Lembaran formulir keluhan ya kosong. Demikian juga Anthony Budi, seorang pengusaha galangan kapal. Ia sudah divaksinasi delapan hari lalu. Umurnya 70 tahun. "Tidak ada keluhan apa-apa," katanya.

Anang Hermansyah, penyanyi dan pencipta lagu itu juga mengatakan hal yang sama. "Saya, Ashanty, anak laki-laki saya tidak punya keluhan," ujar Anang.

Saya juga sempat ngobrol dengan dr Terawan. Saya kemukakan apa pun yang dikatakan para pengritiknya. Soal uji coba di binatang. Soal akan mahalnya biaya vaksinasi nanti --kalau disetujui. Soal disiplin penelitian. Soal apa pun kritik yang keras-keras.

Terawan pilih tidak menanggapi itu. Ia tahu semua jawabnya. Ia heran mengapa ada pandangan seperti itu. Namun, semua itu untuk saya saja. Kalau dipublikasikan hanya akan membuat heboh. Ia memilih lebih baik diam dan bekerja.

Ternyata tidak semua yang ada di situ berurusan dengan bukan-vaksin itu. Salah seorang di antaranya terlihat ada tempelan di lengannya. Saya kira ia baru divaksinasi.

"Saya di sini tidak untuk vaksinasi," katanya.

"Kok ada tempelan di lengan?" tanya saya.

"Saya baru disuntik dendritik untuk pengobatan saya," jawabnya.

"Sakit apa?"

"Saya menderita auto imun," katanya.

Berarti ia baru saja menjalani terapi cell cure di situ. Yang biayanya Rp 300 juta itu. Memang baru RSPAD yang punya fasilitas cell cure seperti itu.

Meski bukan termasuk objek penelitian, saya akan dimonitor terus oleh tim apa itu. Teman-teman rombongan saya senang bisa jadi obyek penelitian. Meski mereka harus bolak-balik ke Jakarta. Mereka kemarin harus sahur di rest area Brebes. Yang bekas pabrik gula zaman Belanda itu.

Sampai habis subuh mereka istirahat di situ. Bahkan sempat senam pagi bersama pula di situ. Pakai lagu-lagu yang disetel keras. Mereka membawa pengeras suara. Lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler