jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI mengikuti Rapat Kerja bersama Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah untuk mengevaluasi Prolegnas Prioritas RUU Tahun 2021 di ruang Baleg DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/9/2021.
Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021, terdapat 33 Rancangan Undang-Undang (RUU). Dua RUU di antaranya merupakan usulan DPD RI yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa BUMDes). Kedua RUU tersebut sama diusulkan pada 17 Desember 2019.
BACA JUGA: Provinsi ini Terdiri dari 650 Pulau, Minta RUU Daerah Kepulauan Disahkan
Dalam evaluasi tersebut para pimpinan dari masing-masing lembaga sepakat bahwa di tengah pandemi Covid-19 dan waktu masa sidang yang singkat, rasionalisasi jumlah prolegnas prioritas perlu dipertimbangkan lagi.
Namun, persoalan waktu tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda-nunda pembahasan RUU yang sebenarnya sangat urgen. Satu dari dua RUU yang mendesak bagi DPD adalah RUU Daerah Kepulauan.
BACA JUGA: DPD RI Gelar FGD Soal RUU Daerah Kepulauan di Batam, Begini Harapan Nono Sampono
Wakil Ketua PPUU DPD RI Angelius Wake Kako mengkritisi pembahasan RUU Daerah Kepulauan yang dinilai sangat lambat dalam satu tahun terakhir.
Angelius menyesalkan progres RUU Daerah Kepulauan di parlemen yang bahkan belum masuk ke pembahasan tingkat I. Padahal, Surat Presiden (Surpres) sudah keluar sejak Mei 2020.
BACA JUGA: Menerima DPP KNPI, Sultan: Amendemen UUD Adalah Keniscayaan
“Februari 2020 yang lalu, kita mengharapkan agar pemerintah segera keluarkan Surpres. Ketika itu (Surpres) sudah keluar, kok pembahasan hingga September tahun ini masih jalan di tempat?” ujar Senator Angelo sapaan akrab Angelius.
Bagi Angelius, persoalannya adalah makin pembahasan RUU Daerah Kepulauan tersebut tertunda, makin lama juga keterbelakangan di daerah kepulauan dibiarkan.
RUU Daerah Kepulauan sangat penting didorong karena pembangunan di provinsi kepulauan tidak dapat disamakan dengan wilayah daratan.
"Kita butuh sarana dan prasarana bagi masyarakat di daerah kepulauan yang berbeda dengan wilayah daratan. Selain itu perlu dipikirkan juga optimalisasi potensi sumber daya kelautan di provinsi kepulauan yang selama ini belum diakomodir oleh UU yang lain,” tegas Angelius, Senator muda asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
NTT masuk daftar 8 provinsi kepulauan selain Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.
Menurut Angelius, kalau melihat Perpres Nomor 63 Tahun 2020, ada 62 daerah tertinggal yang ditetapkan. Sebanyak 62 daerah tersebut ada dalam 11 provinsi, di mana 4 di antaranya adalah NTB, NTT, Maluku, dan Maluku Utara yang merupakan wilayah kepulauan.
Bagi Angelius, wilayah kepulauan ini memiliki sumber daya laut yang kaya. Keberadaan RUU Daerah Kepulauan tersebut dapat mengoptimalisasikan sumber daya tersebut untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat di daerah Kepulauan.
“Kalau ini kita dorong, maka disparitas kesejahteraan antara wilayah Timur dan Barat Indonesia dapat diatasi,” kata Angelius.
Agar tidak berlarut-larut, Angelius mengusulkan agar pembahasan RUU Daerah Kepulauan dipercepat. Selama ini ia menilai bottle neck pembahasan ada di DPR yang belum merampungkan keanggotaan Pansus RUU Daerah Kepulauan.
Menurut Angelius, setidaknya ada 3 fraksi di DPR yang belum memasukkan anggotanya ke dalam Pansus.
Sebagai wakil ketua PPUU DPD RI, Angelius mendorong DPR segera menuntaskan persoalan keanggotaan Pansus tersebut.
"Namun, bila di akhir 2021 juga belum beres, saya usul pembahasan tingkat I diserahkan ke Baleg DPR saja agar pembahasan secara Tripartit antara DPR, pemerintah, dan DPD sebagai pengusul RUU segera dilaksanakan,” ujar Angelo.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich