JAKARTA - Mahkamah Agung diminta untuk lebih mempertimbangkan kepentingan negara dalam menangani sengketa pengelolaan kilang gas PT Donggi Senoro LNG. Pemikiran seperti itu perlu dimiliki para hakim sebab pengelolaan kilang di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah itu saat ini dinilai lebih menguntungkan oknum-oknum tertentu, dibanding rakyat Indonesia secara keseluruhan.
"Apapun putusan Mahkamah Agung semangatnya harus didasarkan pada UUD 1945, untuk kepentingan negara. Bukan kepentingan oknum tertentu," kata anggota DPD RI Nurmawati Dewi saat menjadi narasumber diskusi bertema "Gas Donggi Senoro untuk Siapa" Kamis (26/7).
Nurmawati meyakini, MA dapat berbuat yang terbaik untuk mengubah regulasi pengelolaan pertambangan sesuai Pasal 33 UUD 1945. Dan untuk menuntaskan kasus Donggi Senoro, lanjut dia, renegosiasi adalah langkah tepatnya. Renegosiasi diharapkan bisa mengubah regulasi pembagian hasil penerimaan sumber daya alam SDA dan gas bumi yang lebih menguntungkan negara, serta bisa menanggung kerusakan lingkungan akibat penambangan.
Beberapa waktu lalu pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menyebut yang harus jadi perhatian adalah adanya pengabaian terhadap kepentingan nasional. Ini bisa terlihat dari komposisi hasil produksi yang dialokasikan untuk kebutuhan domestik hanya 25 persen, sementara ekspor mencapai 75 persen.
Ini jelas tak adil setelah dibandingkan dengan persentase kepemilikan saham. Kepemilikan saham Indonesia atas kilang gas Donggi Senoro adalah 41 persen negara dan 59 persen dimiliki asing.
Perwakilan LNG Energi Utama (LEU) Rikrik Rizkiyana membenarkan ada dua terkait Donggi Senoro berada di Mahkamah Agung. Pertama, perkara kasasi atas putusan KPPU, kedua, kasasi pihak LEU terkait penolakan pihak intervensi saat kasus ini masih di pengadilan negeri.
“Kami yakin putusan KPPU akan dikuatkan di MA, karena tanggapan dari pihak Pertamina, termasuk Mitsubhisi dan Medco tidak pernah sampai pada akar permasalahan. Mereka hanya bilang KPPU salah dalam menerapkan hukum,” tandasnya.
“Tapi mereka tidak pernah mengajukan bukti-bukti yang membantah adanya persekongkolan sebagaimana putusan dari KPPU. Mereka hanya berani masuk dalam ranah terminologis, bukan ke akar masalah,” tambah Rikrik.
Dengan begitu, jika MA memutuskan untuk menguatkan putusan KPPU, sudah seharusnya proyek tersebut dikembalikan kepada negara, melalui Pertamina.
Pengamat perminyakan Kurtubi menegaskan, putusan KPPU belum final dan belum pasti. “Bisa saja tuduhan adanya persekongkolan, Pertamina, Medco, dan Mitsubhisi sesuai putusan KPPU tersebut dibatalkan MA. Sebab, pertarungannya belum final,” ujarnya.
Meski demikian, apapun keputusan MA nantinya, hendaknya dapat menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara. Pasalnya, apabila adanya direnegosiasi terutama masalah harga, Indonesia tidak perlu tetap menjual gas hanya USD 3/mmu ke Tiongkok yang terlalu murah harganya. (pra/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Modus Korupsi Emir Moeis Masih Rahasia
Redaktur : Tim Redaksi