Bagi saya, orang tropis yang bermukim di Jakarta, mendengar hujan salju saja, sudah surprise. Yang ada di kepala adalah, pergi ke luar, berhujan-hujan salju, pakai sepatu kulit tinggi, jaket tebal water resist, penutup kepala, sarung tangan yang tak tembus air. Lalu teriak: hore! Welcome Snow...
jpnn.com - Yang sedikit narsis, cepet-cepet minta tolong orang untuk mengambil gambarnya dari kamera Blackberry, lalu mengganti personal picture-nya. Termasuk statusnya di Facebook dan Twitter, wow dinginnya, bbbrrrrr... Lalu chatting dengan group BBM-nya, sambil menertawakan diri sendiri, mirip Si Kabayan Saba Kota. Sumpah, saya tidak senarsis itu, tapi lebih dramatik dari itu.
Bagi saya, sensasi itu penting. Karena itu saya sangat senang dan menghargai orang-orang berjiwa narsis, karena itu pertanda orang yang punya selera sensasi stadium awal. Makin narsis, dia akan semakin sensasional, dan hobinya terus mencari sensasi baru yang belum terpikirkan orang sebelumnya. Percaya boleh, tidakpun boleh, menjadi narsisme sejati itu, tidak pernah berhenti untuk berpikir "what next" yang tidak kuno, yang selalu bikin orang lain tersenyum.
Pagi itu, 7 November 2012, pemerintah kota New York mengeluarkan early warning, peringatan kepada warganya, melalui televisi, radio dan internet. "Dua hari ini New York akan turun badai salju! Hindari kegiatan di luar rumah, terutama setelah pukl 17.00!"
Kantor-kantor pemerintahan tutup lebih awal. Kantor PBB juga pulang lebih awal, jam 15.00 sudah ciao. Lalulintas sejak pagi terlihat agak kacau, macet, bising suara klakson, mirip di Jakarta kalau hujan deras 60 menit non stop. Macet di mana-mana, genangan air juga banyak. Kesimpulan saya, Jakarta tidak sendiri kalau sudah urusan macet dan hujan.
Saya nekat pergi ke Empire State, gedung tertinggi di 350 Fifth Avenue, New York. Tingginya, cukup membuat gemetaran di kaki, 443, 2 meter sampai antene, atau 381 meter sampai roof. Gedung yang menjadi salah satu icon kota New York ini dibangun 1929, dengan biaya USD 40,9 Miliar. Film-film Amerika yang melegenda juga dibuat di gedung menjulang itu, seperti King Kong 1993, Dark Night dan Spiderman.
:TERKAIT Saat Barack Obama dinyatakan menang di re-election tempo hari, puncak Empire State Building itu disinari lighting warna Partai Demokrat, biru. Karena itulah saya ngotot bisa naik di bagian paling atas gedung itu. Dengan USD 26, saya boleh naik sampai di balkon lantai tertinggi, 93. Wow, bagaimana rasanya menjemput badai salju dari ketinggian itu? Saya ingin naik lagi ke 102, ternyata tidak diizinkan karena cuaca tidak bersahabat. Angin berhembus superkencang, mungkin tiga kali lebih deras jika dibandingkan di jalur tepi pantai Bintan Golf Course, sana. Kalau main golf di sana, harus menurunkan ukuran stik hingga 2-3 level?
Petugasnya sangat ramah dan humoris. Dengan kecepatan badai sebesar itu, tidak mungkin juga Anda keluar ruangan, bisa terbang dibawa badai? Bisa beku, karena suhu luar sudah beberapa derajat di bawah nol, ditambah pusaran angin kencang dari daratan AS yang membawa salju. Beruang saja memilih tidur, di saat badai tiba? Pikirku, "Saya memang bukan "ber-uang", karena itu saya tidak mau tidur! Saya pilih mencari sensasi menikmati tekanan badai dari puncak tertinggi di New Yok City."
Akhirnya saya diizinkan, meskipun hanya 5 menit. Seperti rencana narsis itu, saya mau merasakan terpaan badai, dengan tangan dan kulit saya sendiri. Saya ingin mengukur dinginnya salju, saya ingin mengetes seberapa lama orang bisa bertahan di tengah gempuran badai! Saya juga ingin mengabadikan momen istimewa itu dengan foto-foto. Ini bukan salju biasa, ini salju berbonus badai. Pasti seru, begitu pikir saya.
Mau dibilang "kampungan" biarin aja. Mau dibilang "raja narsis" cuek aja. Mau dibilang "kayak anak kecil, kurang kerjaan" ah, EGP. Bagi saya ini adalah sensasi kelas tinggi. Sensasi di tempat tertinggi, dengan risiko tinggi, dan berbiaya tinggi juga. Saya siapkan camera manual mode, dengan kecepatan 1/1000, biar salju yang bergerak cepat di depan saya masih ditangkap diafragma dengan jelas.
Apa yang terjadi ketika saya buka pintu? Angin berhembus keras, cepat, dari arah samping kiri. Suaranya mirip soundtrack film horor, seperti koor bernada supran dan mezo sopran, naik turun. Saya hindari menengok ke kiri. Muka saya seperti disemprot sekeras tekanan angin kompresor, di tempat bersih-bersih sepatu golf di Club House itu. Pipi kiri yang terkena semprotan angin bisa bergerak-gerak sendiri, seperti gelombang. Padahal, pipi saya tidak sedang kegendutan.
Bibir saya, lebih parah lagi. Skenarionya, saya ingin membuka mulut, lalu loncat. Saya biarkan salju masuk, dan angin menerbangkanku beberapa meter. Hmm, petugas mengangkat telunjuknya, no way! Plan satu gagal. It's ok, bibir saya lebih cepat kering dari biasanya. Untung lips glouse menjadi bamper yang canggih, untuk menghindari pecah-pecah.
Tangan seperti mengecil dan keriput. Sedikit mati rasa. Harus cepat-cepat dihangatkan, dimasukkan ke kantong celana. Saya insting saja, kantong celana lebih hangat dibandingkan kantong yang lain.
Dampak badai salju New York itu cukup signifikan. Semua penerbangan dengan maskapai milik Amerika, dicancel. Di atas jam 17.00 JF Kennedy Airport tertutup. Beberapa penerbangan milik Asia dan Timur Tengah masih menunggu berjam-jam di bandara sampai pagi dini hari. Malam itu, tempat duduk di ruang tunggu bandara sampai habis. Pesawat numpuk, tak bisa landing maupun take off.
Jalan-jalan di kota juga berbalut putihnya salju. Mobil-mobil yang parkir di luar, mirip kue donuts yang ditaburi bubuk gula putih. Mobil yang berjalan juga sama, hanya kaca depan dan belakang yang bersih karena dibantu wiper. Mobil polisi menyalakan lampu merah biru berkeip-kedip, menyilaukan.
Pohon-pohon di kiri kanan jalan terlihat bersalju, seperti suasana Natal saja? Beberapa petugas menyisir tumpukan salju dari trotoar. Seolah sedang beradu cepat, dengan curahan salju dari atas langit. Ketika hujan badai menyapa, saya tidak melihat orang berjalan membawa payung? Lama saya berpikir! Baru tahu ketika saya hendak menyetop taksi cab kuning, khasnya NYC itu. Payung saya rontok, tak beraturan! Ah, dasar badai. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Baru Sadar, Indonesia Jauh Lebih Tahan Siksa Bencana
Redaktur : Tim Redaksi