jpnn.com - APA sih enaknya nyabu? Di mana titik sensasinya? Beberapa redaktur INDOPOS saling berpandangan, lirik kanan kiri. Eh, ini diskusi redaksi, bukan interogasi di kantor polisi! Saya bukan informan aparat penegak hukum, saya juga bukan mata-mata BNN. Kenapa mulut kalian seperti terkunci gitu? Seperti ketakutan memberi testimoni? Kalau gitu, sekarang juga kita tes urine! Suasana diskusi pun mulai cair, setelah sekian lama kawan-kawan redaktur jaim (baca: jaga image, red) dan pura-pura tidak tahu.
Rupanya mereka enggan dikomentari: “Berpengalaman nakal ya?” Meskipun celometan itu akhirnya tidak bisa dihindarkan, dan sesama redaktur jadi tahu sama tahu. “Lho, untuk kepentingan investigative reporting, yang membutuhkan kedalaman, kadang perlu observasi partisipatif!” Coba kita kumpulkan istimewanya sabu-sabu. Sehingga menjadi narkoba favorit pilot-pilot itu.
Pertama, tidak mengantuk, mau dua hari dua malam juga tidak terasa capek, tidak bernafsu tidur, seperti baterei yang baru saja recharge. Mungkin karena ini yang membuat pekerjaan yang dituntut “tidak boleh mengantuk” seperti pilot itu merasa nyaman. Kedua, juga tidak bernafsu makan, perasaan masih kenyang, dan ini cocok untuk melawan kegendutan! Oo, mungkin ini yang membuat banyak artis juga ngefans dengan narkoba jenis serbuk berwarna putih ini.
Diet yang menyenangkan, kata kawan-kawan dalam diskusi itu. Idealnya, diet itu perjuangan berat, melawan naluri untuk makan. Ketiga, tidak bikin sempoyongan, tidak seperti mabok alkohol. Jalannya masih bisa tegak dan lurus. Masih cukup oke, tidak akan terjerembab jika dites berjalan di atas pematang sawah. Masih bisa membaca dan menulis dengan baik, hurufnya tidak ganda, tidak ada bayangan.
:TERKAIT Masih bisa bicara dengan normal, tidak ngelantur. Ketiga, tidak berbau menyengat seperti asap ganja, yang berjarak 20 meter dari radius hisap sudah tercium aromanya. Kalau pun ramai-ramai menghisap sabu di kamar hotel, tidak membuat yang tidak ikut menyedot bong itu terkontaminasi nge-fly. Kalaupun ada pengaruhnya, --semacam perokok pasif--, itu sangat kecil dan hampir tidak ada. Lagi-lagi, ini tidak seperti ganja.
Kelima, tanda-tanda fisik saat mulai on juga dengan mudah terdeteksi. Ketika di atas tengkuk sudah mulai kesemutan, istilahnya mulai griming-griming, itu isyarat bahwa Anda sudah mulai boarding dan siap-siap take off. Selangkah lagi, “we make people fly”. Tidak perlu ada penjelasan safety regulation untuk penerbangan sipil oleh pramugari.
Saya tidak bisa menjelaskan, sensasi “terbang” itu seasyik apa? Keenam, katanya tidak bikin sakau. Tidak bikin kecanduan, seperti jenis-jenis psikotropika yang lain. Bahkan, kalau cuma dua tiga kali saja, masih bisa dikendalikan. Mungkin ini yang membuat harganya lumayan mahal, Rp 1 juta per 1 gram. Dan berat 1 gram itu, jika dihisap bertiga, 15 menit sudah habis.
Dengan gaji pilot sekitar Rp 60 juta per bulan, harga itu bisa terjangkau dengan mudah. Ketujuh, setelah dua hari tidak tidur, tidak ngantuk, tidak lapar, maka hari berikutnya saat bisa tidur mereka bisa “balas dendam.” Bisa 24 jam mendekur, paling hanya diselingi kencing dan minum saja. Betul-betul grounded, istirahat total. Bagaimana rasanya saat bangun? “Ya, seperti habis ditaboki orang tanpa bisa membalas!” Yang jadi concern dalam diskusi itu, apa hanya pilot Lion saja yang maniak sabu? Apa ada jaminan pilot penerbangan lain bebas sabu? Kalau tidak, waw, berarti jutaan orang yang selama ini memakai jasa angkutan udara bernasib baik saja.
Berarti penyelidikan soal pesawat yang gagal landing, ndlosor, slip, terpeleset, jatuh, hilang, itu bukan semata-mata urusan cuaca dan infrastruktur, tapi bisa jadi karena human eror? Wajar jika Indonesia adalah penyumbang rasio kecelakaan penerbangan dunia yang terbesar. Penerbangan di Indonesia itu hanya 1 persen dari seluruh dunia, tapi menyumbang 4 persen peristiwa kecelakaan pesawat.
Per satu juta penumpang, masih lebih dari 1 persen, kecelakaan. Rasio eror seharusnya nol koma, tidak boleh menembus digit satu. Lalu, apakah setelah peristiwa ini orang jadi trauma naik Lion? Atau takut lain pesawat? Dan bisnis transportasi udara ikut tersendat? Jawabannya, nggak juga! Deg degan iya, was-was iya. Tapi tanpa pesawat, rasanya tidak mungkin untuk menjangkau negeri yang panjangnya sama dengan Benua Eropa ini? Mati hidup, selamat tidak selamat itu soal nasib.
Jalan kaki di trotoar Tugu Tani, Gambir saja kalau nasib sial bisa ditabrak Xenia 9 tewas? Naik bus masuk jurang, masuk sungai, puluhan tewas? Naik kereta, tabrakan juga tewas? Naik kapal laut, diterjang badai, menabrak batu karang, juga bisa karam dan tewas? Apalagi naik pesawat yang berbasis teknologi? Yang membutuhkan level quality dan skill tinggi? Yang menuntut excellent physical performance tinggi? Pasti punya risiko. Ibarat bencana yang bisa menjadi malaikat pencabut nyawa, memang saatnya menerapkan disiplin tinggi terhadap profesi yang berisiko nyawa.
Kasus pilot sabu ini ibarat menyalakan early warning system. Alarm tentang disiplin dan gaya hidup pilot sudah memasuki zone merah. Sudah saatnya diatur lebih ketat, lebih keras dengan pencabutan lisensi. Begitu terbukti positif nyabu, tidak ada ampun, cabut lisensi terbang. Mirip dengan dokter, begitu terbukti melanggar etik dan aturan tertentu, cabut lisensi.
Atau pengendara mobil, cabut SIM-nya. Lebih baik menyusahkan satu kepala, daripada membuat nangis 100 keluarga! Perusahaan penerbangan juga harus memperhitungkan keselamatan penumpang, tidak hanya menghitung situasi demand pasar yang spektakuler saat ini. Batas 1 bulan 110 jam, dan 1 tahun 1050 jam itu sudah dihitung atas dasar rata-rata orang sehat jasmani menjalankan pekerjaan penuh konsentrasi.
Jika seminggu libur sehari, maka rata-rata 4,2 jam per hari. Tidak seperti kerja kantoran yang 8 jam per hari. Memang, bergaji besar, punya uang, dapat fasilitas macam-macam, tinggal di hotel berbintang, dan terbang hanya 4,2 jam sehari, itu persoalan tersendiri! Jauh dari keluarga? Terus mau ngapain? Kata orang, “Enak ya jadi pilot?” Kata pilot, “Enak apaan? Boring! Membosankan, dan lebih baik terbang lagi.
” Apalagi, kebutuhan pilot untuk industri pesawat terbang komersial Indonesia masih sangat kurang? Jika rata-rata per hari hanya 4,2 jam, cost-nya jadi terlalu besar. Karena itu ada overtime, bahkan ada maskapai yang malah lebih dari 8 jam per hari? Kalau overtime sih, oke-oke aja, produktif. Tapi kalau sabu-time, nah itu yang harus diakhiri sampai di sini! Titik. Jangan pakai koma!
*)Penulis adalah Pemred–Direktur Indopos, dan Wadir Jawa Pos.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kucing Dalam Karung
Redaktur : Tim Redaksi