jpnn.com, JAKARTA - Oleh Rudi S Kamri
(Pencinta Sepak Bola Indonesia)
BACA JUGA: Soal PSSI, Menpora: Pemerintah Netral dan Tidak Akan Campur Tangan
Entah saya harus bicara apalagi melihat drama di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang telah berlangsung 2 November 2019 lalu, secara nyata para pemangku kepentingan (stakeholders) langsung di PSSI telah menunjukkan betapa bar-barnya perebutan kekuasaan di tampuk PSSI.
Ada calon ketua umum protes terhadap agenda KLB, bukan dijelaskan dengan baik dan bijak malah berbuntut pengusiran oleh panitia dengan mengerahkan para preman bayaran. Aura demokrasi seolah tidak pernah hadir di setiap Kongres PSSI.
BACA JUGA: Kongres PSSI Usai, Ini Daftar Anggota Exco Terpilih
Ada catatan menarik tentang KLB PSSI yang baru lewat. Pertama, aroma kental money politics (politik uang). Meskipun tidak pernah diakui oleh siapa pun, nyatanya tetap terjadi. Modus ini seperti orang buang angin, baunya menyengat tapi wujudnya tak kelihatan.
Kedua, aroma intimidasi. Semua pihak pasti mengelak melakukan hal ini, tapi nyatanya masih terjadi juga. Beberapa pemilik hak suara (voter) secara diam-diam melakukan testimoni meskipun dengan embel-embel minta jati dirinya tidak disebutkan.
Adu kuat, adu uang dan adu kuasa masih mewarnai kontestasi pimpinan PSSI. Tagline "sepak bola seharusnya diurus oleh orang yang mengerti bola", ternyata tidak berlaku di tubuh federasi sepak bola Indonesia. Sangat terlihat beberapa orang yang terpilih menjadi Komite Eksekutif atau Executive Committee (Exco) PSSI orang yang baru di dunia sepak bola. Belum pernah ditemukan jejak digital mereka berbicara tentang sepak bola Indonesia selama ini. Bagaimana mungkin orang-orang yang seperti ini diharapkan mampu memperbaiki sepak bola nasional?
Beberapa Exco yang terpilih juga terlihat orang-orang dari pengurus lama atau muka-muka lama. Mereka telah menunjukkan kegagalan dalam mengurus federasi sepak bola Indonesia, tapi masih ngotot ingin berkiprah di federasi sepak bola kembali. Di antara mereka malah terindikasi kuat terlibat dalam drama pengaturan skor pertandingan (match fixing). Bagaimana mungkin orang-orang dengan reputasi jeblok seperti mereka bisa diharapkan mampu meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia?
Belum lagi adanya konflik kepentingan. Di antara Exco yang terpilih ternyata merupakan pemilik atau pengurus klub sepak bola. Bagaimana mungkin seorang regulator dalam genggaman satu tangan dengan objek regulasi, atau wasit sekaligus merangkap pemain?
Kalau ditelisik secara lebih rinci, asal-muasal kekisruhan yang terjadi dalam tubuh PSSI adalah kurang teguhnya para voter PSSI. Mereka tidak mempunyai kemauan untuk berubah. Alasan pragmatisme uang, main aman dan ketakutan ditekan adalah alasan klise yang selalu digaungkan oleh para voter. Mereka tidak punya nyali untuk melawan praktik uang haram dan kuatnya tekanan. Tindakan pengecut mereka secara tidak langsung telah mengkhianati masyarakat sepak bola Indonesia.
Dengan fenomena dan rentetan peristiwa yang terjadi, masihkah kita berharap kepada PSSI dengan pengurus baru? Secara pribadi saya sudah tidak punya harapan lagi. Kapasitas, kapabilitas dan track records (rekam jejak) para pengurus federasi sepak bola Indonesia yang baru sangat tidak bisa diharapkan memperbaiki tata kelola persepakbolaan nasional. Masa depan persepakbolaan Indonesia telah disuramkan oleh para pemangku kepentingannya sendiri. Mudah-mudahan saya salah.
Alhasil, sepak bola Indonesia masih tetap tidak berubah, penuh drama adu dana dan adu kuasa tanpa akhir cerita. (*)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti