Musim kampanye menjelang pemilihan umum 18 Mei di Australia telah membuat banyak warga mengaku "stress" dan "khawatir" dengan apa yang dikatakan para politisi di media.
Banyak warga Indonesia sudah atau mungkin masih memiliki kelelahan secara emosional setelah pemilihan umum serentak yang dilakukan 17 April lalu, terlebih karena apa yang mereka dapatkan di jejaring sosial.
BACA JUGA: Pendukung Senator Anti Muslim di Australia Pukuli Wartawan
Hal itulah yang kini dialami Roen Meijers, seorang warga Australia yang bekerja sebagai advokat di bidang difabel dan juga seorang transeksual asal kota Hobart, Tasmania.
Ia merasa "ada banyak ketakutan dan kecemasan" menjelang pemilihan federal tahun ini.
BACA JUGA: Paku dan Sekrup Dikeluarkan dari Perut Seekor Emu di Brisbane
"Saya hidup dengan disabilitas dan secara profesional saya membantu orang-orang yang hidup dengan disabilitas, jadi seperti dua sisi mata uang," ujar kepada ABC Life.
Roen mengaku memiliki banyak teman dan anggota di komunitasnya yang benar-benar hidup dengan kesulitan.
BACA JUGA: PM Australia Kesal Dengan Terbitnya IMB Bekas Sari Club di Bali
Tapi ia mengatakan ketika para politisi berbicara dengan cara meremehkan beberapa kelompok masyarakat demi mendapat dukungan, hal ini malah membuat mereka merasa menjadi target dan semakin terisolasi.
"Banyak orangtua yang menangis, terutama, mengatakan, 'Setiap kali ada musim kampanye, saya tak tahu apakah anak-anak saya akan baik-baik saja atau tidak setelah saya meninggal."Merasa tertekan saat berbicara politik Photo: Pemimpin Partai Liberal, Scott Morrison (belakang) and pemimpin Partai Buruh, Bill Shorten (depan) (ABC News: Georgina Piper)
Kampanye dan pemilihan umum bisa menjadi peristiwa yang melelahkan bagi banyak individu, karena debat politisi dan laporan media yang dapat berdampak pada kehidupan kita sehari-hari.
Dr Dani Einstein, psikolog klinis dan akademisi di Macquarie University di New South Wales, mengatakan mayoritas warga Australia merasa tidak memiliki keterkaitan dengan dunia politik.
Tapi menurutnya orang-orang seperti Roen dapat merasa sangat tertekan, karena mereka begitu bersemangat dan memiliki dampak dari masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
"Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah orang hanya menjadi tertekan ... jika ada masalah yang sangat penting bagi mereka," katanya.
Menjelang pemiliu juga menjadi waktu dimana kebanyakan dari kita berbicara soal politik dengan keluarga, teman, atau rekan kerja dan ini membuat kita seringkali terjebak dalam percakapan yang sulit.
Di Indonesia, perdebatan pilihan politik bahkan telah memicu perpecahan di kalangan keluarga dan teman terdekat dengan dipicu oleh percakapan di jejaring sosial, seperti Facebook dan Whatsapp Group. Photo: Selama pilkada DKI Jakarta tahun 2017, sejumlah warga muslim dipertanyakan soal keyakinannya. (Flickr: Chris Lewis)
Praktisi masalah kejiwaan, Rachel Bowes dari lembaga Lifeline di Australia mengatakan jika kita sudah tahu beberapa topik membuat kita kesal maka lebih baik memilih untuk tidak membicarakannya.
"Tidak apa-apa untuk tetap bertahan pada topik-topik yang netral dan mengatakan, 'Saya tidak ingin membahas itu dengan kamu' atau 'Bisakah kita setuju untuk tidak setuju?'," katanya.
Dr Einstein juga mengatakan pentingnya untuk mencari sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian dari konsumsi media.
Beberapa pilihan yang ia sarankan diantaranya adalah mencoba bertanam, membaca, atau melakukan sesuatu yang benar-benar Anda ingin kerjakan atau berbicara dengan orang yang paling Anda ingin ajak bicara.
Ikuti berita-berita seputar kampanye dan pemilu Australia 2019 di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jejak Indonesia Dalam Sejarah Masuknya Islam di Australia