Kelas Alkitab yang diikuti Alex mulai menguasai hidupnya. Ia kemudian menyadari siapa yang pegang kendali.

Baca versi interaktif disini

BACA JUGA: Pembayaran Gaji Rendah Terus Berlangsung di Australia

Nama saya Alex dan saya berasal dari Hong Kong

Sepanjang hidupku, saya ingin belajar di luar negeri, karena saya pikir pengalaman itu akan memperkenalkan saya pada dunia.

BACA JUGA: Sertifikat Vaksinasi Palsu Bisa Membahayakan Upaya Australia Menangani COVID-19

Saya pergi ke Sydney beberapa tahun yang lalu dan menyukai suasana kotanya. Saya memutuskan untuk pindah ke sana untuk mengambil program S2 Hukum di University of Sydney. Sebuah keputusan yang mendebarkan, tapi juga menyenangkan.

Saya kenal beberapa orang yang tinggal di Sydney, tapi untuk membangun koneksi pertemanan butuh usaha lebih.

BACA JUGA: Sejumlah Orang Tua Masih Khawatirkan Rencana Sekolah Tatap Muka Terbatas di Tengah Pandemi

  Teman serumah yang baru

Luke*: Saya Luke dan saya pertama kali bertemu dengan Alex di semester pertama kuliah hukum di University of Sydney.

Kita berdua satu angkatan. Kita belajar bareng beberapa kali dan menjalin pertemanan.

Setahun kemudian, saya sedang mencari teman kost di satu rumah. Alex melihat iklan yang saya pasang di Facebook dan ia juga ingin pindah.

Beberapa bulan pertama, kita melakukan hal-hal yang biasa dilakukan teman serumah, seperti nonton TV dan bermain game bareng.

Alex orangnya cukup santai dan baik. Pertemuan yang kebetulan

Alex: Suatu pagi, saya sedang berdiri di luar stasiun kereta Central Station saat hendak ke kantor hukum tempat saya magang. Dua pria kemudian mendekati saya.

Mereka mengatakan sedang mencari pelajar internasional untuk diwawancara, dengan pertanyaan seputar latar belakang kami. Semuanya terdengar sederhana dan mudah.

Di akhir wawancara, mereka bertanya apakah saya tertarik untuk ketemuan, seperti ngopi bareng. Saya pikir, kenapa tidak?

Jadi, kami bertemu di 'food court 'di dalam mal Central Park, dekat kantor saya. Selain dua pria yang ketemu saya di Central Station, ada juga seorang perempuan.

Kita hanya saling kenalan dan mengobrol ringan . Kita masing-masing memperkenalkan diri dan bercerita latar belakang kami, dibesarkan dimana, ya hal-hal seperti itu. Mereka terkesan ramah.

Kemudian salah satu dari mereka mulai menawarkan sebuah kelas dan bertanya apakah saya mau ikut. Saya menjawab iya. Alex mulai berubah

Luke: Saya menyadari tingkah laku Alex berubah, saya mulai jadi jarang ketemu.

Tingkah lakunya jadi aneh. Saat kita sedang menonton TV, tiba-tiba ia mendapat panggilan telepon dan mengatakan harus pergi ke kelas barunya atau pergi belajar.

Tapi dia mahasiswa internasional yang tidak terlalu kenal banyak orang di Australia. Jadi, saya pikir dia sedang menemukan rasa kebersamaan dengan orang-orang baru ini.

Saya pernah bertanya soal itu dan dia hanya bilang, "oh, saya gabung dalam sebuah kelompok belajar Alkitab." Kelas Alkitab

Alex: 

Saya dibesarkan secara Katolik. Keluarga ibuku sangat religius. Beranjak dewasa, kami pergi ke gereja setiap minggu, bahkan pernah menjadi putra altar.

Tetapi saat saya ikut misa, rasanya mereka hanya pilih ayat-ayat Alkitab secara acak dan membacakannya kepada kami. Saya tidak benar-benar memahami konteks atau mengerti apa pun tentang ayat-ayat tersebut.

Kelas-kelas pendalaman Alkitab yang baru ini berbeda. Mereka memberikan banyak penjelasan dan merujuk kembali ke ayat-ayat tertentu untuk mendukung hal-hal yang mereka ajarkan.

Semuanya tampak jauh lebih logis dan lebih terorganisir. Tentunya lebih masuk akal bagi saya. Itulah yang membuat saya tertarik.

Kelas Alkitab ini dimulai dengan pertemuan dalam kelompok kecil selama tiga sampai empat bulan. Mereka selalu bertemu di 'food court' Central Park, membuat saya jadi nyaman juga. Kemudian seorang pria yang usianya lebih tua memberitahu saya tentang kelas Alkitab yang lebih besar.

Katanya, “Kalau kamu lulus tes bakat dan kemampuan, kamu bisa ikut kelas ini, durasinya sembilan bulan dan kamu harus berkomitmen ikut tiga kali seminggu."

Dalam tes bakat, ada pertanyaan mengenai hambatan yang dapat menghentikan saya untuk datang ke kelas Alkitab.

Saya harus mencari solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan itu, agar saya tetap bisa pergi.

Kelas baru ini diadakan di Surry Hills, di dalam ruangan yang sangat besar dengan kapasitas sekitar 100 orang. Kelas ini diadakan pukul 06:30 sore dan bisa berlangsung hingga pukul 9 atau 10 malam.

Dan kalau kita melewatkan satu kelas, maka akan diatur kelas tambahan. Jadi itu menyita banyak waktu saya. 'Hidupnya hanya seputar kelas'

Luke: Alex semakin lama semakin menghabiskan banyak waktunya untuk pergi ke kelas-kelas ini. Jelas menjadi prioritas baginya, seakan-akan tidak ada kelonggaran.

Saya ingat suatu malam kita belanja bahan makanan bareng dan tiba-tiba ia mendapat telepon dari grupnya. Di tengah sedang belanja, dia berkata "maaf, saya harus pergi" dan langsung pergi. Itu aneh banget.

Dan ketika dia tidak bisa hadir kelas, mereka mengatur sesi belajar di sekitar jadwalnya. Jadi, dia kadang bisa belajar dari tengah malam sampai jam 2 atau 3 pagi. 'Merahasiakannya'

Alex: Di kelas-kelas besar, sepertinya ada banyak mahasiswa internasional termasuk saya sendiri, sebagian besar berasal dari Asia. Mayoritas instruktur dan pengajarnya adalah orang Korea.

Suatu ketika, seorang instruktur dengan santai mengatakan, "tempat ini kami sewa, jadi kami akan sangat menghargai jika semua hadirin berkontribusi sedikit secara finansial".

Mereka meminta bayaran AUD30, atau lebih dari Rp300 ribu per dua minggu. Pada saat itu saya pikir agak sedikit mahal. Tapi harganya masih terjangkau. Saya senang pergi ke kelas mereka, orang-orangnya sangat ramah dan menjadi cara saya bertemu orang baru yang memiliki keyakinan yang sama.

Jadi saya merasa saya harus berkontribusi.

Kelompok itu menyebut dirinya sebagai kelompok studi Alkitab non-denominasi. Tapi ada pernyataan tertentu dari mereka yang saya kurang setuju.

Saya ingat mereka pernah bilang, hanya mereka yang memiliki interpretasi Alkitab paling benar dan semua orang yang mengatakan hal berbeda, mereka punya interpretasi yang salah, katanya, itu adalah Iblis yang berbicara.

Saya juga ingat mereka pernah mengatakan beberapa orang mungkin menganggap ajaran mereka adalah aliran sesat. Jadi kami diberitahu, kami harus berusaha merahasiakannya dari keluarga dan teman-teman kami.

Mereka berkata, "keluarga dan teman-teman Anda mungkin tidak mau Anda menghabiskan waktu bersama kami, tetapi itu adalah kerjaan Iblis yang mencoba menghentikan Anda mempelajari Alkitab."

Kelompok itu menjadi pusat dari kehidupan sosial saya. Mulai sadar

Alex: Setelah beberapa bulan, saya mulai bekerja, jadi waktu saya untuk mengikuti kelas Alkitab semakin berkurang.

Saya harus mengikuti banyak kelas tambahan di akhir pekan. Kadang saya bisa melakukan dua kelas tambahan berturut-turut, yang berlangsung selama lima jam. Membuat saya lelah sekali.

Jadi suatu hari, saya coba mencari di Google untuk melihat apakah saya bisa menemukan doktrin yang sedang mereka ajarkan, agar saya bisa mengejar kelas yang tertinggal. Tapi hasil yang muncul di Google mengubah segalanya.

Salah satu hasil pencarian adalah unggahan di Reddit, di mana orang-orang berbagi pengalaman mereka tentang sebuah gereja Kristen asal Korea bernama Shincheonji. Saya melihat ada berbagai referensi yang menyebutnya sebagai sebuah 'cult' atau kultus. Saya pernah mendengar tentang grup ini sebelumnya, karena mereka yang menyebabkan munculnya banyak kasus COVID-19 di Korea Selatan tahun lalu.

Tetapi ketika saya mulai membaca unggahan ini, saya menyadari banyak ajaran Shincheonji yang persis sama dengan apa yang saya pelajari di kelas pendalaman Alkitab. Jadi, saya melakukan lebih banyak 'Googling', saya membaca beberapa artikel lagi. Saat itulah saya sadar.

"Sial, saya bergabung dalam Shincheonji". Luke adalah orang pertama yang saya beritahu. 'Ia jadi ketakutan'

Luke: Suatu sore, saya baru pulang dari kantor dan Alex mengatakan, “Saya tidak sengaja bergabung dalam sebuah kultus.” Dia menjelaskan semuanya kepada saya dan mengatakan dia akan putus kontak dengan grup itu.

Dia mungkin tidak tertekan secara emosional, tapi dia merasa ketakutan, takut karena dia tidak sengaja menjadi sangat terlibat dengan kelompok ini.

Saya juga cukup terkejut, karena Alex adalah orang yang cukup cerdas, dia seorang pemikir yang kritis.

Saya pernah dengar tentang Shincheonji, tetapi saya tidak tahu kalau mereka ada di Australia, apalagi merekrut orang di Central Station.

Saya sendiri sebenarnya merasa agak bodoh, karena saya sadar jika dia sudah menghabiskan banyak waktu di pertemuan-pertemuan ini dan menerima telepon-telepon dari mereka.

Saya seharusnya bertanya apa yang dia lakukan, bagaimana dia bisa bertemu orang-orang ini, sudahkah dia mencari tahu tentang grup ini? Dikhinati dan malu

Alex:  Saya benar-benar terkejut, karena bergabung dengan aliran sesat selalu terdengar seperti bahan tertawaan, sesuatu yang saya pikir tidak mungkin terjadi pada saya.

Itu membuat saya berpikir jika ini bisa terjadi pada siapa saja, tidak peduli seberapa pintar Anda, tidak peduli seberapa kritis pikiran Anda.

Beberapa minggu kemudian, saya merasa dikhianati dan malu. Saya telah menghabiskan banyak waktu dengan grup ini. Waktu yang seharusnya saya habiskan dengan orang lain atau menikmati kota baru saya.

Melihat kembali ke belakang, mereka jelas-jelas berupaya untuk memisahkan saya dari banyak hal lain dalam dalam hidup saya, sehingga saya mencurahkan seluruh waktu saya untuk mereka.

Sepertinya mereka ingin saya berhenti menjadi diriku sendiri dan melayani kelompok itu.

Agama seharusnya tidak begitu. Itulah yang saya rasa benar-benar membuatnya menjadi sebuah kultus. Apa itu Shincheonji?

Gereja Yesus Shincheonji didirikan tahun 1984 oleh Lee Man-hee dari Korea Selatan, yang mengaku sebagai wujud Yesus Kristus yang kedua.

Para pengikutnya percaya jika di Hari Akhir nanti, Lee Man-hee akan membantu 144.000 penganutnya untuk mendapat kehidupan yang kekal, angka ini ditetapkan dalam Kitab Wahyu.

Gereja Shincheonji mengklaim mereka memiliki lebih dari 200.000 anggota di Korea Selatan dan lebih banyak lagi di seluruh dunia, semuanya demi memperoleh kehidupan kekal.

Mantan anggota dan kelompok Kristen lain di Korea memberi label Shincheonji sebagai sekte hari kiamat, karena apa yang mereka sebut sebagai praktik yang tidak jelas, "cuci otak", serta mempertanyakan peran yang dimiliki Lee, pria berusia 89 tahun.

Kelompok ini sebelumnya menyangkal jika mereka adalah aliran sesat dan mengatakan para anggotanya menghadapi diskriminasi, terutama di Korea Selatan.

Profesor Kyung Moon Hwang, seorang sejarawan Korea di Australian National University, mengatakan masalahnya lebih kompleks bukan sekedar perbedaan gereja dan aliran sesat.

"Sangatlah subjektif untuk menyebutnya sebagai kultus atau bukan kultus, perbedaannya buram.

"[Shincheonji] memiliki tingkat kerahasiaan yang kuat, dengan tingkat konversi intensif yang kuat melalui proses komunal ...

"Pendirinya menyatakan dia adalah nabi baru Agama Kristen, bahwa dia adalah Mesias baru," katanya.

"Dan ada juga siklus yang telah berkembang, lebih banyak kerahasiaan muncul karena aliran tersebut dicap sebagai aliran sesat oleh kelompok-kelompok Kristen Korea lainnya."

Profesor Kyung menekankan sejarah Korea memiliki banyak contoh kelompok-kelompok Kristen yang mirip, seperti Gereja Unifikasi, yang didirikan oleh seorang yang menyatakan dirinya mesias, yakni Sun Myuung-moon, pada tahun 1954.

"Tapi Shincheonji telah menciptakan keretakan yang sangat kuat dan menyakitkan dalam keluarga-keluarga di Korea, terutama antara orang tua dan anak-anak yang mungkin menjadi bagian dari kelompok ini dan ada yang pada akhirnya meninggalkan keluarga mereka."

Sekte tersebut pernah menjadi sorotan media internasional tahun lalu setelah menjadi sumber wabah COVID-19 yang besar, yakni saat 60 persen dari kasus penularan COVID-19 di Korea Selatan berasal dari kelompok tersebut.

"Mereka melanggar berbagai macam peraturan pemerintah yang ditetapkan untuk mencegah pertemuan massal," kata Profesor Kyung.

Lee Man-hee kemudian didakwa melanggar undang-undang pengendalian virus, tetapi dibebaskan. Namun, dia dinyatakan bersalah atas penggelapan uang sebesar AUD6,5 juta, atau lebih dari Rp68 miliar. Ia menerima hukuman percobaan tiga tahun.

ABC sudah menghubungi Gereja Yesus Shincheonji untuk memberikan komentar tetapi tidak menerima jawaban. Hilang kepercayaan

Alex: Pengalaman ini membuat saya jauh lebih skeptis, terutama terhadap kelompok agama apa pun yang mencoba merekrut orang.

Saya berhenti pergi ke gereja mana pun, karena setelah mengikuti kelas-kelas itu, saya merasa tidak yakin lagi mana yang benar dan mana yang salah dalam Agama Kristen. Saya tidak tahu.

Sekarang, setiap kali saya melihat sebuah ayat atau cerita di Alkitab, saya tidak bisa melupakan apa yang mereka ajarkan kepada saya dan terus kembali ke interpretasi mereka.

Jadi, saya berhenti menjalani kepercayaan saya.

Mengingat kembali apa yang terjadi, tampaknya Shincheonji sengaja menargetkan siswa internasional di Sydney, dan itu mungkin karena mereka belum memiliki hubungan yang erat dengan komunitas mana pun.

Mungkin terkadang mereka merasa kesepian karena berada di negara asing, jauh dari keluarga mereka di kampung halaman.

Jadi saya hanya ingin memperingati, jika Anda mencurahkan waktu dan sumber daya untuk kelompok mana pun, yang mengakibatka menjadi sangat terisolasi dari keluarga dan teman-teman yang dicintai, ini adalah tanda bahaya besar.

Perhatikan baik-baik tanda peringatan ini.

*Nama telah disamarkan untuk melindungi identitas narasumber

Jika cerita ini menimbulkan masalah bagi Anda atau seseorang yang Anda kenal di Australia, dukungan tersedia dengan menghubungi Lifeline di 13 11 14.

Cerita ini diambil dari podcast ABC Radio Nationaal RN Presents: This Much is True. Ikuti di aplikasi ABC ListenApple PodcastsGoogle PodcastsRSS atau layanan Podcast yang biasa Anda dengarkan.

#share  Kredit: Reporter:  dan  dengan produser Cheyne Anderson Illustrasi dan produser digital: Editor digital:  Produser Eksekutif: Julie Browning Penerjemah: Trisha Dantiani

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lockdown Berkepanjangan Bikin Orang Tua Murid Khawatirkan Pendidikan Anak Mereka

Berita Terkait