Anggi Swasti Suryandari akhirnya bisa bernafas lega saat sekolah putranya mulai membuka pertemuan tatap muka terbatas.

Sudah lebih dari satu tahun ini Anggi, yang yang bekerja dari rumah, harus sambil mengawasi anaknya belajar jarak jauh.

BACA JUGA: Selamat! Bupati Sumedang Dinobatkan sebagai Pemimpin Visioner

“Kemarin-kemarin ini ibunya lumayan emosi jiwa," ujar Anggi setengah tertawa.

"Karena tugas-tugasnya dari sekolah kan cukup banyak, sementara anaknya kalau disuruh belajar enggak mau, disuruh susah, jadi ibunya yang repot."

BACA JUGA:  Kak Seto: 13 Persen Anak Depresi karena Tekanan Ortu Selama Belajar di Rumah

Putra Anggi, Ifat Prabawa, juga tak kalah senang.

“[Saya] lebih suka pergi ke sekolah, karena bisa ketemu teman-teman,” kata Ifat yang sekarang duduk di kelas enam sekolah dasar.

BACA JUGA: Lockdown Berkepanjangan Bikin Orang Tua Murid Khawatirkan Pendidikan Anak Mereka

Anggi merasa pembukaan sekolah ini membantu sedikit bebannya, terutama untuk Ifat sehingga ia bisa memiliki aktivitas lain tidak hanya di rumah saja.

Meski Ifat masih masuk ke kategori anak yang belum bisa divaksinasi, Anggi tidak terlalu khawatir anaknya tertular.

Ia percaya pengaturan yang dijalankan pihak sekolah cukup aman dan melindungi Ifat dan murid-murid lainnya.

“Masuk sekolah, [murid-murid] diukur suhu tubuhnya, kemudian cuci tangan, dan harus pakai masker, kalau oke semua baru masuk ke kelas," tutur Anggi kepada wartawan ABC Indonesia, Hellena Souisa.

"Sekolahnya bagus, guru-gurunya bagus [dalam menerapkan protokol kesehatan], guru juga sudah divaksinasi semua, jadi menurut saya aman-aman semua," tambahnya.

Di SDN Pabuaran 01 Citayam, tempat Ifat bersekolah, pertemuan tatap muka baru dilakukan secara terbatas, yakni 50 persen dari jumlah murid.

Jadi, Ifat masuk sekolah dua hari sekali, sisanya ia mengerjakan sejumlah tugas di rumah.

Kesiapan sekolah juga menjadi salah satu alasan Pipit Tapiheroe menyetujui anaknya menjalani pertemuan tatap muka.

"Meskipun sekolah anak saya tidak termasuk dari 600 sekolah yang menjalani uji coba di Jakarta, tapi pihak sekolah mengamati sekolah-sekolah ini dan membuat sejumlah kondisi," ujarnya.

"Salah satunya inisiasi vaksinasi murid yang sekarang sudah mencapai 76 persen," kata Pipit yang putrinya duduk di kelas satu SMA.

Ia menambahkan pihak sekolah berharap orangtua bisa mengantar-jemput anak dengan kendaraan pribadi dan sebisa mungkin menghindari kendaraan umum.

“Hand sanitiser, masker, masker cadangan, dan face shield juga harus disediakan orangtua," ucapnya.

Pipit juga yakin anaknya sudah cukup dewasa untuk bisa menaati protokol kesehatan.

"Kalau anak saya masih SD atau SMP, mungkin masih kepikiran sih. Tapi mungkin kekhawatirannya lebih ke pakai maskernya yang benar, enggak di dagu atau di leher."

Dengan semua kondisi yang disodorkan sekolah, Pipit memberi persetujuan untuk anaknya menjalani pertemuan tatap muka, dengan catatan ada evaluasi yang menjadi pegangan orangtua.

"Misalnya dirasa saat berjalan itu ada protokol yang tidak dijalankan dengan baik, orangtua boleh mencabut izin anaknya untuk tidak ikut tatap muka." Mengkhawatirkan protokol kesehatan di sekolah

Berbeda dengan Pipit, Astrid Lim masih belum merasa aman melepas anaknya, Joshua Yofel, kembali ke sekolah.

Keraguannya beralasan, karena Yofel yang duduk di kelas 1 SMP belum genap berusia 12 tahun, artinya belum boleh menerima vaksin COVID-19.

“Saya masih enggak nyaman karena selain dia belum divaksinasi ... juga soal protokol kesehatan di sekolah, memangnya bisa Yofel disuruh pakai masker dan face shield seharian? Enggak mungkinlah."

SMPK BPK Penabur Jakarta, tempat Yofel bersekolah, memang belum melangsungkan tatap muka terbatas.

Namun menurut Astrid sekolah anaknya tersebut sudah aktif mensosialisasikan persiapan-persiapan yang dilakukan.

"Seperti misalnya pemakaian layar hibrid, sambil mengirimkan survei ke orangtua, dan saya lihat hasilnya secara general 80 persen orangtua masih tidak setuju [tatap muka]," kata Astrid.  

Astrid menambahkan, Pemerintah sebaiknya tidak melempar keputusan kepada orangtua murid.

“Kalau orangtua yang disuruh memilih, pasti ada 'pressure' [tekanan]."

Menurutnya orang tua yang awalnya tidak setuju, tapi karena yang lain setuju, kemudian "ikut saja" atau sebaliknya.

"Harusnya solusinya dari Pemerintah, jadi kita semua sama-sama [menjalani apa yang diputuskan pemerintah]."

"Di daerah mungkin situasinya berbeda dan lebih urgent [tatap muka], tapi untuk di Jakarta, mengapa enggak nunggu setidaknya satu semester lagi saja dulu supaya kita lebih yakin kalau tren kasus ini memang benar-benar sudah menurun." 'Hampir semua murid belum divaksinasi'

Di luar pulau Jawa, Eka Ilham, guru SMKN 1 Palibelo di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat menilai pilihan yang paling ideal di tempatnya mengajar adalah pertemuan tatap muka.

Alasannya karena kendala koneksi internet yang buruk. Belum lagi, sebagian besar murid-muridnya adalah anak petani yang punya keterbatasan.

“Walaupun dari Kemendikbud sendiri memberikan kuota internet, namun tidak semua siswa memiliki gawai," kata Eka kepada ABC Indonesia.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa pertemuan tatap muka mendapat persetujuan sebagian besar komite orangtua siswa di sekolahnya.

Namun, Eka mengakui sekolah tatap muka tak lepas dari masalah.

Dari pengamatannya, protokol kesehatan di beberapa sekolah di wilayahnya telah mengendur dibandingkan beberapa waktu yang lalu.

“Menurut pengamatan saya, baik di SD, SMP, maupun SMA, memang protokol kesehatannya kendor juga, itu menurut saya, karena saya juga punya anak yang masih SD yang sekolahnya di samping sekolah ini." 

Eka juga khawatir soal vaksinasi yang belum diterima oleh murid-murid secara umum di Kabupaten Bima.

“Bicara dalam scope [cakupan] Kabupaten Bima, hampir seratus persen siswa belum divaksin, bahkan sosialisasi dengan pihak [dinas] kesehatan maupun pihak yang terkait soal vaksin saya pastikan belum ada."

Padahal, menurut Eka, Federasi Serikat Guru Indonesia mensyaratkan tingkat vaksinasi siswa minimal 70 persen agar sekolah tidak berisiko menjadi klaster COVID-19.

Ia meminta dinas pendidikan dan kebudayaan di level provinsi, dinas kesehatan, dan satgas COVID-19 untuk segera mensosialisasikan dan menyediakan vaksinasi untuk siswa-siswa di sana.

Masalah vaksinasi ini juga menjadi salah satu poin yang diangkat oleh sejumlah organisasi sipil yang tergabung dalam Aliansi untuk Pendidikan dan Keselamatan Anak.

Koalisi ini melayangkan somasi terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Mendikbudristek Nadiem Makarim, Menkes Budi Gunadi Sadikin, Mendagri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait pembelajaran tatap muka (PTM) di tengah pandemi COVID-19.

Menurut koalisi, setidaknya ada tiga masalah yang perlu diselesaikan dan menjadi tanggung jawab pemerintah sebelum proses belajar tatap muka layak dilaksanakan, salah satunya angka vaksinasi anak usia 12-17 baru mencapai 36 persen.

Selain itu, angka 'positivity rate', terutama pada anak, juga masih tinggi dan mencapai 15 persen per akhir Agustus 2021.

Begitu juga dengan angka pelanggaran protokol kesehatan pada pembelajaran tatap muka yang masih tinggi. Pemerintah genjot vaksinasi pelajar

Pemerintah Indonesia masih terus memperluas cakupan vaksinasi pelajar untuk menunjang belajar tatap muka.

Presiden Joko Widodo mengatakan program ini diutamakan untuk daerah-daerah dengan angka penularan kasus COVID-19 yang tinggi.

Dalam kunjungannya ke Wajo, Sulawesi Selatan, Kamis kemarin (09/09), Presiden Jokowi mengatakan ia berharap percepatan vaksinasi di berbagai sekolah dapat menekan laju penyebaran COVID-19, sehingga proses pembelajaran tatap muka dapat segera dilaksanakan.

"Banyak siswa, murid, santri yang divaksinasi akan percepat proses belajar tatap muka ... Kita harapkan secepatnya dimulai. Karena kita ingin anak-anak segera memperoleh ilmu kembali di sekolah," ujar Presiden Jokowi seperti disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Presiden juga mengingatkan pelajar untuk tetap menerapkan protokol kesehatan pencegahan penularan COVID-19 secara ketat."Protokol kesehatan harus dijaga ketat terutama pakai masker jangan sampai di lepas. Saya pakai masker sampai double karena penting menjaga kita semuanya agar tidak menularkan dan tidak tertular oleh COVID-19," ujar Presiden Jokowi.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kalahkan Tiongkok, Australia Jadi Negara Penghasil Emas Terbesar di Dunia

Berita Terkait