DAMASKUS - Bentrok antara pasukan keamanan Syria dan kelompok oposisi semakin serius dan sengit. Kemarin (22/2) pertempuran kembali pecah di Kota Homs, sekitar 162 kilometer utara Damaskus. Sehari setelah bentrok di kota itu yang merenggut sedikitnya 27 nyawa, militer yang loyal kepada rezim Presiden Bashar al-Assad menewaskan dua jurnalis asing.
Dua jurnalis itu tewas ketika pasukan Assad menghujani kawasan Baba Amr, wilayah tentara pembelot yang pro-oposisi di Homs, dengan roket. Keduanya diidentifikasi sebagai Marie Colvin dan Remi Ochlik. Colvin merupakan jurnalis Amerika Serikat (AS) yang bekerja untuk koran Inggris Sunday Times.
Sedangkan Ochlik adalah fotografer lepas asal Prancis. "Dua jurnalis Barat itu tewas saat roket menghantam rumah yang mereka tinggali," terang seorang aktivis oposisi yang menjadi saksi mata.
Dalam wawancara melalui telepon dengan Reuters, saksi mata yang merahasiakan namanya itu mengatakan bahwa dua jurnalis itu sempat melarikan diri. Saat tempat tinggal mereka porak-poranda diterjang roket, keduanya luput dari serangan. Tetapi, ketika mereka berusaha kabur, pasukan Assad kembali melepaskan tembakan roket yang mengenai tubuh mereka berdua.
Aktivis oposisi bernama Omar Shaker mengungkapkan bahwa hujan roket juga melukai tiga jurnalis asing lainnya. Menurut dia, pasukan Assad memang sengaja menyerang rumah yang menjadi tempat tinggal para jurnalis asing itu. Media center tersebut merupakan bangunan yang sengaja didirikan oposisi sebagai fasilitas bagi para jurnalis asing.
Kemarin, surat kabar Prancis Le Figaro membenarkan bahwa salah seorang dari tiga jurnalis asing yang terluka itu tercatat sebagai awak mereka. Edith Bouvier, reporter Le Figaro, luka pada bagian kakinya akibat serpihan roket.
"Sampai sekarang, media center masih menjadi sasaran serangan. Karena itu, kami kesulitan mengevakuasi jurnalis yang terluka," tutur Shaker.
Menteri Kebudayaan Prancis Frederic Mitterrand juga membenarkan kematian Ochlik di Syria kemarin. Dia pun berharap rezim Assad memberikan akses bagi Prancis guna mengevakuasi jenazah warganya itu dan membawa pulang jurnalis lain yang luka. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy pun bereaksi atas insiden tersebut. ’’Kematian jurnalis ini menunjukkan bahwa rezim (Assad) memang sudah harus berakhir,’’ tegas Sarkozy.
Serangan pada hari ke-19 atas Kota Homs kemarin juga menewaskan sedikitnya 13 warga sipil. Tidak ingin jatuh lebih banyak korban warga sipil, aktivis mendesak Assad mengizinkan anak-anak dan perempuan meninggalkan kota tersebut. Namun, Assad mengabaikan permintaan oposisi dan justru mengerahkan lebih banyak pasukan ke Homs sejak Selasa lalu (21/2).
Bersamaan itu, Palang Merah Internasional (ICRC) meminta semua pihak yang berkonflik di Syria melakukan gencatan senjata. ICRC berharap gencatan senjata harian bisa berlangsung selama dua jam. Dengan begitu, ICRC bisa mengirim bantuan pangan dan obat ke daerah rawan konflik. Sayangnya, dialog ICRC dengan wakil pemerintah dan oposisi belum membuahkan hasil.
"Kami mendukung gencatan senjata demi kemanusiaan. Tetapi, kami tidak bisa menjamin jika kelompok-kelompok kriminal rezim (Assad) mau melakukan hal sama," kata Kolonel Riyadh al-Asaad, salah seorang komandan Tentara Pembebasan Syria atau Free Syrian Army (FSA), tentara pembelot yang pro-oposisi. Selama ini pasukan Assad pun banyak bergantung pada milisi bersenjata dalam melakukan serangan atas Kota Homs.
Terpisah, kelompok oposisi Dewan Nasional Syria (SNC) mengimbau dunia internasional mewujudkan zona aman di negerinya. Dengan begitu, perempuan dan anak-anak bisa berlindung di zona aman tersebut tanpa khawatir menjadi sasaran salah tembak. SNC juga meminta Rusia mendesak rezim Assad agar mengizinkan distribusi bantuan kemanusiaan.
Hingga kemarin, menurut jaringan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), korban tewas dalam krisis yang berlangsung hampir setahun itu telah mencapai 7.636 jiwa. Itu belum termasuk warga yang terluka atau cacat seumur hidup. "Di antara korban tewas, sekitar 5.542 di antaranya adalah warga sipil," kata Rami Abdel Rahman, direktur SOHR.
Sementara itu, Washington mulai memberikan sinyal untuk mempersenjatai oposisi di Syria. Rencana memasok senjata bagi oposisi itu diungkapkan Senator John McCain dari Partai Republik. Tapi, Kepala Staf Gabungan AB atau Pangab AS Jenderal Martin Dempsey menyatakan bahwa rencana itu masih terlalu dini. Sebab, pertumpahan darah di Syria bisa makin parah bila oposisi membawa persenjataan canggih.
"Dari perspektif kami, kami tidak sepenuhnya yakin bahwa pemberian kontribusi militer pada (oposisi) Syria merupakan langkah baik. Kami tak ingin menyaksikan peningkatan eskalasi kekerasan di sana. Tetapi, jika seluruh tekanan yang ada belum bisa membuat Assad lengser, kami mungkin memikirkan cara lain," papar Jubir Departemen Luar Negeri AS Victoria Nuland. (AP/AFP/RTR/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kevin Rudd Mundur dari Jabatan Menlu Australia
Redaktur : Tim Redaksi