Serangan Balik, TikTok Gugat Donald Trump dan Menteri Perdagangan Amerika

Rabu, 26 Agustus 2020 – 05:54 WIB
Presiden AS Donald Trump memegang Injil di depan Gereja St John, Washington, Senin (1/6). Foto: AP

jpnn.com, LOS ANGELES - Perusahaan jejaring sosial berbagi video, TikTok, pada Senin (24/8) mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Trump atas perintah eksekutif yang melarang segala bentuk transaksi di Amerika Serikat (AS) dengan perusahaan induknya, ByteDance.

Dalam gugatan setebal 39 halaman yang diperoleh Xinhua, Presiden AS Donald Trump, Menteri Perdagangan Wilbur Ross, dan Departemen Perdagangan AS masuk dalam daftar pihak tergugat.

BACA JUGA: 59 Persen dari Total Penduduk Indonesia Melek Media Sosial, TikTok Kian Populer

Menurut dokumen itu, TikTok menuding otoritas AS telah mencabut hak perusahaan tersebut tanpa bukti apa pun untuk menjustifikasi tindakan ekstremnya, serta mengeluarkan perintah tanpa proses hukum seperti yang dijamin dalam Amendemen Kelima.

Sementara itu, dokumen tersebut mengutip pernyataan dari Trump terkait masalah ini, seperti menyatakan dalam konferensi pers bergaya kampanye bahwa TikTok "tidak memiliki hak" dan dia akan melarang aplikasi populer itu jika pihak perusahaan tidak menyerahkan uang kepada pemerintah demi mengamankan persetujuan untuk penjualan apa pun. Kata-kata itu tidak konstitusional.

BACA JUGA: Oracle Saingi Microsoft Caplok TikTok, Presiden Trump: Perusahaan Hebat

"Dengan menuntut Penggugat untuk melakukan pembayaran ke Departemen Keuangan AS sebagai syarat untuk penjualan TikTok, Presiden telah mengambil properti Penggugat tanpa kompensasi yang melanggar Amandemen Kelima," kata dokumen itu.

Selain itu, gugatan tersebut mengatakan, dengan mencegah TikTok beroperasi di AS, perintah eksekutif itu melanggar hak kebebasan berkomunikasi perusahaan tersebut yang dilindungi Amandemen Pertama, sebagai sarana komunikasi ekspresif.

BACA JUGA: Usai TikTok, Presiden AS Donald Trump Bersiap Sikat Alibaba?

Perusahaan teknologi yang berbasis di Los Angeles itu berpendapat perintah eksekutif tersebut merupakan penyalahgunaan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA), dengan mengizinkan pelarangan aktivitas yang belum terbukti sebagai "ancaman luar biasa dan tidak lazim" dalam kasus ini.

TikTok berargumen bahwa para presiden terdahulu menggunakan kekuasaan yang disahkan oleh IEEPA untuk melindungi negara dari ancaman pihak asing, termasuk terorisme dan penyebaran senjata pemusnah massal, tetapi perintah eksekutif ini berupaya menggunakan IEEPA untuk melawan perusahaan AS dengan ratusan karyawan tersebar di seluruh negara itu dan untuk menghancurkan komunitas daring berbagi konten video oleh jutaan warga Amerika.

Menurut perusahaan itu, pada Juni 2020, jumlah total pengguna aktif bulanan TikTok di negara itu melonjak menjadi 91.937.040, dan berdasarkan penggunaan kuartalan, 100 juta warga Amerika menggunakan aplikasi tersebut untuk mengekspresikan diri dan saling berhubungan.

Perintah eksekutif itu dikeluarkan "untuk alasan politik alih-alih 'ancaman luar biasa dan tidak lazim' terhadap Amerika Serikat, yang sejatinya merupakan syarat bagi Presiden untuk menggunakan kewenangannya" di bawah IEEPA, kata TikTok.

Pihak penggugat, TikTok Inc. dan ByteDance Ltd., meminta keputusan deklaratif dan perintah untuk membatalkan serta melarang perintah eksekutif Trump tersebut dan peraturan implementasi lainnya yang akan dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan AS.

"Perintah eksekutif Presiden ini bersifat inkonstitusional dan ultra vires(di luar kuasa), dan harus dilarang," demikian bunyi dokumen itu. (xinhua/ant/dil/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler