jpnn.com -
ISTRI teman baik Singapura saya masuk rumah sakit. Itu gara-gara asap dari Indonesia yang membuat langit negeri itu kelabu. Juga karena sang istri memang memiliki kelemahan di paru-paru.
BACA JUGA: Egois Dua Tahun untuk Mendung Tebal
Kemarin dia senang sekali. Bukan oleh kedatangan saya, tapi karena angin berubah arah sejak dua hari lalu. Udara Singapura sudah lebih bersih. Sang istri bisa meninggalkan rumah sakit. Dan balap mobil Formula 1 (F1) tidak jadi batal.
Saya pun bisa menontonnya. Setelah lima tahun absen dari sirkuit F1. Bayangkan kalau sampai F1 batal gara-gara asap Indonesia. Hebohnya ke seluruh dunia. Wajah Indonesia akan tercoreng semoreng-morengnya.
BACA JUGA: Masa Denial yang Mestinya Bisa Dilewati
Saya juga memanfaatkan momen ini untuk bertemu banyak pelaku ekonomi. Apalagi, saya bisa nonton F1 dari ruang VVIP. Banyak CEO dari berbagai negara ada di situ. Saya ingin dengar pandangan mereka atas apa yang terjadi di Indonesia. Apa saja kekurangannya. Lalu apa yang harus dilakukan.
Umumnya mereka merasa berutang. Begitu banyak keuntungan yang sudah pernah mereka nikmati dari kemajuan ekonomi Indonesia. Khususnya dalam sepuluh tahun terakhir. Mereka tetap berharap jangan sampai Indonesia terpuruk. Apalagi hancur.
BACA JUGA: Setiap Kesulitan Punya Jalan Keluar
Tapi, mereka memang waswas. Terutama oleh sinyal-sinyal negatif yang mereka dengar: kegaduhan yang tidak henti-hentinya, pernyataan-pernyataan yang tidak mencerminkan stabilitas, dan tidak adanya kepastian birokrasi.
Sinyal negatif itu sudah mereka baca sejak Maret lalu. Waktu itu ada forum besar sekali di Hongkong. Fund manager dari seluruh dunia berkumpul. Untuk melihat masa depan ekonomi di sejumlah negara. Termasuk Indonesia. Karena itu, salah satu pembicaranya dari Indonesia. Seorang menteri ekonomi.
Fund manager adalah jenis orang yang tidak mudah dibohongi, dirayu, atau dimintai tolong. Mereka amat realistis dan kritis. Mereka tahu mana pembicaraan yang berisi dan mana yang omong besar. Ketika sang menteri penuh optimisme mengatakan pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa 5 persen, mulailah mereka kritis: dari mana bisa tumbuh 5 persen? Tidak mungkin, kata mereka. Tidak masuk akal.
Sang menteri ternyata punya jawaban yang dianggapnya logis. Indonesia akan banyak punya uang. Dari mana? Dari pajak. Pemerintah akan menaikkan pajak. Termasuk pajak properti. Dan akan mengejar pajak-pajak lainnya.
Jleg. Para fund manager langsung membaca sebaliknya. Ekonomi Indonesia pasti akan memburuk. Perburuan pajak yang dilakukan di saat ekonomi suram bukanlah berita baik. Akibatnya, banyak menu stimulus ekonomi yang terasa hambar. Stimulus kemudahan orang asing bisa membeli properti di Indonesia, misalnya, hanya akan seperti upaya menyegarkan ikan goreng yang sudah telanjur gosong.
Seorang pengusaha dari Semarang membuktikan kekhawatiran para fund manager dari seluruh dunia itu. Saya lagi sarapan dengan dia di Hotel Tentrem Jogja Sabtu lalu. Sebelum saya ke Singapura. Dia menceritakan ketakutan teman-temannya yang akan membeli properti. Kenapa? Karena diusut dari mana asal uang untuk membeli properti itu. Harus bisa membuktikannya. Kalau tidak, uang untuk beli rumah itu harus dipotong 30 persen sebagai pajaknya.
Sebetulnya, menurut pendapat saya, langkah keras seperti itu bagus. Dan harus dilakukan. Hanya, kok kebetulan kekerasan itu dilakukan di saat yang situasinya kurang pas.
Akibatnya, para pemilik uang memilih menukarkan uang mereka ke dolar. Lalu menyimpannya dalam bentuk dolar. Ini membuat rupiah kita kian tidak dipercaya. Dan membuat properti hancur. Termasuk bisnis turunannya. Termasuk lapangan kerjanya. Tukang-tukang batunya.
Minggu lalu, kata mereka, fund manager yang sama kumpul lagi di Hongkong. Mereka memang berkumpul setahun dua kali. Indonesia kembali menjadi salah satu yang dibahas. Mereka tetap ingin Indonesia maju. Agar bisnis mereka juga maju.
"Nama Anda banyak disebut di forum itu," ujar seorang fund manager kepada saya. "Sebagai contoh ketidakpastian," tambahnya.
Tapi, mereka juga melihat akhir-akhir ini situasi Indonesia sedikit membaik. Tentu dengan harapan bisa lebih baik lagi. Indonesia, kata mereka, bisa tumbuh 4,5 persen. Saya sepenuhnya setuju dengan kesimpulan itu. Situasi membaik. Dan bisa tumbuh 4,5 persen.
Menurut saya, bisa tumbuh 4,5 persen itu sudah bagus. Bagus sekali. Jangan malu. Toh dunia memang lagi sakit. Bisa tumbuh 4,5 persen harus kita terima dengan gembira. Harus kita syukuri. Kalau perlu dengan membaca alhamdulillah seribu kali.
Memang tumbuh 4,5 persen tidaklah seperti yang kita harapkan. Bahkan jauh dari janji kampanye. Tapi, jangan diungkit-ungkit soal itu. Tidak ada manfaatnya. Bisa tumbuh 4,5 persen adalah prestasi di saat sulit.
Baiknya kita fokus melihat tahun depan. Sisa tiga bulan di tahun 2015 ini kita konsentrasikan untuk membuat landasan tahun depan. Salah satunya adalah ini: pengampunan pajak! Pengampunan pajak dulu, kemudian bertindak keras.
Kehebatan satu langkah pengampunan pajak ini akan mengalahkan berapa pun banyaknya paket kebijakan ekonomi lainnya! Mari kita sambut pertumbuhan 4,5 persen dengan seribu alhamdulillah. (*)
jpnn.com -
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemeriksaan BUMN dan BHMN di Mata MK
Redaktur : Tim Redaksi