Pemeriksaan BUMN dan BHMN di Mata MK

Senin, 10 Agustus 2015 – 06:36 WIB

jpnn.com - MUNGKIN kisah ini bisa sedikit membantu keluar dari kesulitan ekonomi sekarang. Setidaknya belanja modal BUMN yang lebih dari Rp 300 triliun bisa terwujud. Tidak ada yang merasa ketakutan. Ini tidak hanya tentang BUMN. Tapi juga BHMN dan mungkin juga perusda yang bentuknya sudah perseroan terbatas (PT). Yang secara hukum harus tunduk pada UU PT.

”Tolong bikinkan tafsir atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini,” kata saya kepada Hambra. Waktu itu saya masih menteri BUMN.

BACA JUGA: Seratus Smart City untuk Mengejar Ketertinggalan

Hambra SH, alumnus Universitas Pattimura itu, menjabat kepala Biro Hukum Kementerian BUMN. ”Putusan ini kan menggunakan bahasa hukum. Mungkin sulit dimengerti orang di lapangan,” kata saya.

Masa jabatan saya sebagai menteri BUMN, ketika itu, tinggal beberapa hari. MK baru saja menjatuhkan putusan mengenai status keuangan BUMN. Yang intinya sama dengan status keuangan perguruan tinggi BHMN.

BACA JUGA: Peta Baru yang Pengaruhi Hubungan Dua Suku

Putusan itu bagus sekali. Terutama di bagian pertimbangan-pertimbangannya. Orang-orang BUMN (dan BHMN) seharusnya tahu dan berpegang pada putusan tersebut. Demikian juga para pejabat hukum yang tugasnya memeriksa BUMN dan BHMN.

Tafsir bikinan biro hukum mengenai putusan MK itu saya bawa ke Prof Hamdan Zoelva, ketua MK. Saya mengajak semua deputi menteri untuk ikut serta. Saya ingin melakukan konfirmasi: apakah putusan tersebut boleh kami tafsirkan dengan bahasa yang bisa dimengerti umum seperti yang dibuat biro hukum kami itu.

BACA JUGA: 35.000 Triliun Hilang dalam Tiga Hari

Ketua MK waktu itu didampingi Sekjen. Beliau menerima kami dan mengerti maksud kedatangan kami. Lalu kepala biro hukum menyerahkan map berisi tafsir putusan MK tersebut.

Saya mengira beliau akan menerima naskah itu dengan ucapan yang biasa-biasa saja. Misalnya, ”Baik, nanti saya pelajari.” Ternyata tidak. Prof Hamdan langsung minta pembicaraan dihentikan dulu. Beliau ingin membaca tafsir tersebut secara teliti saat itu juga.

Ruang pertemuan pun hening beberapa menit. Beliau membaca tafsir itu sampai selesai. ”Sudah betul,” katanya. ”Ya begini yang dimaksudkan,” tambahnya.

Intinya adalah: BUMN itu posisinya sama dengan perguruan tinggi BHMN yang juga mengajukan gugatan dengan substansi yang sama. Yakni bagaimana mengelola kekayaan negara yang dipisahkan dari keuangan negara itu.

Ini sama sekali bukan ”boleh diperiksa atau tidak”, melainkan ”bagaimana cara memeriksanya”. Penegak hukum yang mana pun boleh memeriksa keuangan BUMN. Lembaga pemeriksa mana pun berhak memeriksa keuangan BUMN. Yang dipersoalkan waktu itu adalah bagaimana perlakuan pemeriksaannya.

Menurut ketua MK saat itu, dalam memeriksa masalah keuangan BUMN, tidak boleh menggunakan pendekatan keuangan negara. Tapi harus menggunakan pendekatan bisnis perusahaan. Istilah yang dipergunakan MK adalah ”dalam proses pemeriksaannya, karena entitasnya beda, yang satu adalah entitas birokrasi dan yang satu adalah entitas bisnis korporasi, maka cara pemeriksaannya juga harus beda”.

Cara pemeriksaan terhadap BUMN dan BHMN itu, kata beliau, tidak bisa dengan pemeriksaan government judgement rule, tapi harus dengan cara business judgement rule. ”Memang harus begitu memaknainya,” ujar ketua MK saat itu.

Jadi, kata dia, tidak bisa cara pemeriksaan untuk kementerian disamakan dengan cara pemeriksaan untuk BUMN. Jadi, intinya begitu, katanya. Secara substansinya harus dipisahkan dan harus dibedakan.

Setelah mendengar itu, saya pun mengajukan satu permohonan: bolehkah kami menghadap ke lembaga-lembaga hukum untuk menjelaskan tafsir putusan MK ini?

Sekjen MK minta bicara. Dia mengatakan, dirinya sudah menerima instruksi untuk mengomunikasikan putusan itu dengan lembaga-lembaga pemeriksa. ”Kalau BUMN yang mengomunikasikan, nanti bisa salah paham,” ujarnya.

Prof Hamdan berpikir sejenak. Lalu katanya, ”Jangan BUMN yang melakukan. MK yang akan melakukan.” Saya pun lega.

Beberapa hari kemudian saya berhenti dari jabatan saya sebagai menteri. Saya tidak tahu sempatkah MK mengomunikasikan putusan itu kepada kejaksaan, kepolisian, BPK, BPKP, dan sebagainya.

Saya pun mendengar Prof Hamdan Zoelva juga berhenti sebagai ketua MK tidak lama kemudian. Putra ulama khos Sumbawa tersebut ingin mendampingi ayahandanya yang lagi sakit di sana.

Putusan itu sangat mendasar. Bisa membuat BUMN tidak merasa ragu-ragu dalam membuat keputusan. Perusahaan itu, kalau mau maju, harus memperhatikan faktor speed. Jangan seperti birokrasi. Putusan MK tersebut bisa jadi landasan yang kuat untuk membuat BUMN tidak seperti birokrasi. Bisa lebih lincah untuk bersaing dengan perusahaan global.  

Keragu-raguan hanya membuat pejabatnya ibarat makan gaji buta. Terima uangnya, tidak mau ambil risikonya. (*)

        Dahlan Iskan
Mantan CEO Jawa Pos

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saat 90 Juta Orang Marah Bersama


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler