Memang, sebagaimana negeri monarki konstitusional lain pada era modern, Thailand mendudukkan raja dalam tataran simbolis
BACA JUGA: Presiden Venezuela Memerintah dari Tenda
Sebagai kepala negara yang tak menangani urusan kenegaraan sehari-hariTapi, ada yang membedakan Bhumibol dari para raja lain
BACA JUGA: Julian Assange, Peka dan Solider sejak Kanak-kanak
Yakni, auraMisalnya, yang terjadi pada 1973 dan 1992 saat Thailand diguncang huru-hara politik yang nyaris berujung pada pertumpahan darah
BACA JUGA: Charles-Camilla Diteror Demonstran
Hanya dengan beberapa baris kalimat dari ayah empat anak tersebut, tensi langsung mereda.Dengan posisi seperti itu, mau tak mau Bhumibol harus kerap berurusan dengan politik praktis yang sejatinya tak menjadi wewenangnyaApalagi, Thailand termasuk negara yang amat rentan konflikSejak memerintah pada Juni 1946, Bhumibol harus menghadapi 15 kudeta, 16 perubahan konstitusi, serta 27 pergantian perdana menteri.
Akibatnya, Bhumibol kadang tak bisa berperan sebagai wasit yang netral, yang berdiri di atas semua golonganPreferensinya bisa terlihat gamblangMisalnya, saat dia mendukung rezim militer Sarit Dhanarajata pada 1960-an dan Dewan Keamanan Nasional yang dibentuk tentara setelah Perdana Menteri Thaksin Shinawatra terkudeta pada 2006.
Tak hanya berseberangan dengan gerakan prodemokrasi, kecondongan Bhumibol pada kubu tertentu itu tak jarang berbenturan dengan suara rakyat kebanyakanContohnya, saat dia memberikan angin kepada Aliansi Rakyat untuk Demokrasi yang berusaha menggulingkan para loyalis Thaksin yang berkuasa setelah memenangi pemilu secara sah dan meyakinkan.
Namun, sekali lagi, aura berbicaraBerbagai "blunder" politik tersebut tak sampai meruntuhkan wibawa BhumibolDia tetap dihormatiPolitisi atau kelompok-kelompok yang saling bertentangan berebut restu dari dia.
Tapi, mungkin justru di situ terletak tantangan besar yang kelak harus dihadapi ThailandBhumibol istimewa karena pesona pribadinyaLalu, ketika dia wafat kelak, akankah negeri itu masih mendambakan peran besar istana kendati sang pengganti, Pangeran Maha Vajiralongkorn, tak terlalu populer di mata rakyat?
Kalau tidak, lantas bagaimana menempatkan posisi sang raja baru agar tidak sampai bertentangan dengan Lese Majeste, undang-undang perlindungan keluarga kerajaan yang ekstrem itu? Belum lagi ancaman instabilitas karena tak ada lagi sosok yang bisa menjadi wasit "sekalipun kadang tak objektif.
Membayangkan Thailand pasca-Bhumibol itu, kita terpaksa setuju pada keyakinan lama: kadang, orang besar justru menjadi "kutukan" bagi suatu negaraAtau, barangkali yang terjadi di Thailand sejatinya hanyalah kegagalan regenerasiBhumibol terlalu lama berkuasa, terlalu lama menikmati peran utama, sehingga lupa mematangkan pengganti.
Apa pun itu, Thailand kini mesti berani membuka kemungkinan terhadap reformasi monarkiYang lebih penting, mereka juga, dalam bahasa aktivis prodemokrasi Jon Ungpakorn kepada New York Times pada Mei lalu, "Harus mulai belajar menyelesaikan persoalan sendiri." (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rusuh Haiti Buntut Pemilu
Redaktur : Tim Redaksi