jpnn.com - JAKARTA - Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi Munafrizal Manan menilai tidak ada dasar hukum yang jelas terkait dengan wacana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan dapat dibatalkan.
Munafrizal mengatakan MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.
BACA JUGA: Daftar Nama 16 Guru Besar & Pengajar Hukum yang Melaporkan Paman Gibran, Lihat Nomor 10
Oleh karena itu, kata dia, tidak ada upaya hukum yang bisa menilai putusan MK tersebut tidak sah, kemudian membatalkannya.
"Wacana tentang putusan MK tidak sah, kemudian dapat dibatalkan tidak punya dasar hukum kuat," kata Munafrizal dalam keterangan resmi diterima di Jakarta, Jumat (27/10).
BACA JUGA: Selain 16 Guru Besar, Ini Daftar Nama 10 Lembaga Melaporkan Hakim MK
Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, menurut dia, sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK.
Menurut dia, hal tersebut karena ada benturan norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.
BACA JUGA: Ternyata Prabowo Sudah Bertemu Megawati, Oalah
Dijelaskan bahwa dasar hukum putusan MK bersifat final adalah UUD NRI Tahun 1945 yang secara hierarki lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman.
"Tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi," tegas dia.
Selain itu, lanjut dia, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang perkara yang telah diputus dan membatalkan putusan MK.
"Ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman in concreto hanya dapat dilaksanakan untuk lembaga-lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang sifat putusannya tidak serta-merta final karena ada hierarki kelembagaan bertingkat (pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali)," paparnya.
Dia mengatakan bahwa tidak ada ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, UU Mahkamah Konstitusi, ataupun Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di MK yang mengatur prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang dan putusan ulang atas perkara yang sudah diputus.
Oleh karena itu, Munafrizal menilai perdebatan yang muncul di kalangan masyarakat tentang putusan MK tersebut menunjukkan perlunya pembenahan internal MK, yakni dengan menyempurnakan hukum acara dan tata kelola penanganan perkara yang lebih jelas dan tegas.
"Agar hal seperti itu tidak terjadi lagi dan bilamana terjadi lagi, sudah tersedia ketentuan solutif untuk menyelesaikannya," imbuh Munafrizal.
MK, lanjutnya, juga perlu membuat pedoman baku tentang penerapan judicial activism (aktivisme yudisial) dan judicial restraint (pembatasan yudisial) sebagai rambu bagi para hakim konstitusi untuk menjaga konsistensi seluruh putusan MK dan kepastian konstitusional.
Sebelumnya, Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah.
Dalam gugatannya, Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai sarat konflik kepentingan. Muncul anggapan putusan MK dirancang untuk memberi jalan Gibran Rakabuming Raka ikut maju di Pilpres 2024.
Laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu kemudian bermunculan.
Atas dasar itu, dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang telah memulai rapat klarifikasi pada hari Kamis (26/10).
Munafrizal menilai, pro dan kontra atas suatu putusan perkara yang diputus oleh lembaga peradilan adalah hal biasa karena ada pihak yang merasa puas dan tidak puas.
Dalam konteks putusan MK, dia mengakui bahwa sifat asli kewenangan MK, termasuk wewenang pengujian undang-undang, berkaitan erat dengan dimensi politik.
"Penilaian orang atas putusan MK akan dipengaruhi oleh kecenderungan persepsi, preferensi, dan kepentingan politik orang yang menilainya," imbuh dia.
Namun begitu, Munafrizal meyakini hakim konstitusi memiliki independensi dalam memutus setiap perkara.
Dia mengatakan bahwa laporan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi harus berdasar pada bukti kuat.
"Laporan dugaan pelanggaran etik terhadap para hakim konstitusi tentu harus didasarkan pada bukti yang kuat, dan diharapkan putusan MKMK nanti tidak menimbulkan kegaduhan baru," kata Munafrizal.
Ketua MKMK Jimly Sebut2 Iblis
Sehari sebelumnya, Kamis (26/10), Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie berharap majelis tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan akal sehat masyarakat yang menuntun ke arah kemajuan peradaban bangsa.
Dalam rapat MKMK di Gedung II MK, Jakarta, Kamis, Jimly menilai saat ini akal sehat mudah dikalahkan oleh akal bulus dan akal fulus, yakni untuk kepentingan jabatan dan kekayaan semata.
"Akal sehat sekarang lagi terancam oleh dua iblis kekuasaan kekayaan. Maka, MKMK ini harus kita manfaatkan untuk menghidupkan akal sehat itu. Itu yang menuntun ke arah kemajuan peradaban bangsa," kata Jimly.
Ditegaskan bahwa MKMK harus menjadi penengah di antara dua ancaman tersebut.
Jimly mengaku terkejut. Menurut Jimly, laporan masyarakat kepada sembilan hakim konstitusi belum pernah terjadi dalam sejarah MK.
"Ini perkara belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, seluruh dunia, semua hakim dilaporkan melanggar kode etik. Baru kali ini," kata Jimly.
Namun demikian, dia mengatakan laporan masyarakat terhadap putusan MK tersebut harus disyukuri karena dapat menjadi bahan edukasi bagi masyarakat mengenai konstitusi Indonesia.
"Kasus putusan terakhir ini menarik perhatian seluruh rakyat Indonesia. Ini bagus. Harus disyukuri. Untuk public education (edukasi publik), bagus sekali ini. civic education (pendidikan kewarganegaraan), bagus sekali," ujar Jimly. (antara/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu