Setop Perkawinan Anak Adalah Tanggung Jawab Bersama

Senin, 11 Desember 2017 – 12:56 WIB
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB Hj Hartina bersama para remaja di Lombok saat kampanye stop pernikahan anak, Minggu (10/12).

jpnn.com, MATARAM - Gerakan Bersama Setop Perkawinan Anak dideklarasikan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (10/12). Gerakan bersama ini diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, para aktivis perempuan dan anak, serta puluhan LSM yang fokus pada isu perlindungan perempuan dan anak.

Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) Lenny Rosalin mengatakan, berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.

BACA JUGA: Inilah Orasi Ilmiah Lengkap Bu Mega di Korsel!

Lenny menegaskan, perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Perkawinan usia anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk berkembang sesuai usianya.

Akibat dari perkawinan anak ini sangat berdampak besar terutama pada perempuan. Perkawinan anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan dibanding usia 20-24 tahun dan secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan terjadi pada anak perempuan dengan usia 15-19 tahun.

BACA JUGA: Gelar Kehormatan Keenam untuk Presiden Kelima RI

"Dampak kesehatan bayi yang dilahirkan perempuan di bawah umur pun memiliki risiko kematian lebih besar yaitu dua kali lipat sebelum mencapai usia satu tahun," kata Lenny.

Risiko lain yang tidak dapat diabaikan ialah hilangnya kesempatan mendapatkan pendidikan, risiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker servik, kanker payudara dan juga hidup dalam kegaduhan keluarga karena ketidaksiapan mental dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian.

BACA JUGA: Perjuangkan Ekonomi Pancasila, Bu Mega Dianugerahi DR HC

Lenny berharap melalui Gerakan Setop Perkawinan Anak ini, revisi UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun akan dapat diwujudkan.

Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB Hj Hartina mengatakan melindungi anak dari praktik perkawinan bukan sekadar tanggung jawab pemerintah. Dibutuhkan peran lembaga masyarakat, dunia usaha, maupun media dalam menghentikan praktik perkawinan pada usia anak.

“Sekarang ini kami aktif kampanye melalui semua media untuk mencegah praktik perkawinan usia anak,’’ kata Hartina.

Selain aktif kampanye melalui media, DP3AP2KB juga aktif blusukan ke desa-desa yang masih merah. Warna merah ini untuk menggambarkan bahwa praktik perikahan anak masih tinggi di desa itu.

DP3AP2KB menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, guru, orang tua, kelompok remaja, kelompok perempuan, dan NGO. Secara rutin DP3AP2KB turun ke lapangan untuk mengedukasi bahaya praktik perkawinan usia anak. Beberapa aturan di tingkat desa sudah dibuat untuk mencegah perkawinan usia anak.

“Selain advokasi dari atas, advokasi kebijakan, kami juga turun ke lapangan,’’ katanya.

Dalam Deklarasi Bersami Stop Perkawinan Anak itu, Wakil Gubernur NTB HM Amin menyampaikan, Pemprov NTB bersama pemerintah kabupaten dan kota di NTB mendukung penuh program pendewasaan usia perkawinan dengan minimal usia perkawinan umur 21 tahun.

Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi sudah membuat surat edaran yang berisi usia ideal perkawinan pertama.

"Penekanan angka pernikahan anak juga menjadi prioritas dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) kita,’’ kata Amin.??Amin menjelaskan, tingginya angka perkawinan usia anak di NTB ini tidak terlepas dari praktik “kawin lari” yang dikenal dengan istilah merarik.. Faktor lain yang berkontribusi pada tingginya perkawinan anak di NTB, lanjut Amin, meliputi kemiskinan, pendidikan yang rendah, rendahnya sosialisasi, serta rendahnya pengetahuan masyarakat.

"Maraknya perkawinan anak di NTB ini memang segera harus kami hentikan,’’ ujarnya.

Amin menyampaikan, penurunan tingkat pernikahan dini di NTB mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pada 2013, persentase perempuan yang melakukan perkawinan pertama usia 10 tahun sampai 19 tahun sebesar 48,89 persen, dan sempat mengalami kenaikan menjadi 50,29 persen pada 2014, sebelum kembali turun cukup drastis pada 2015 dengan 34,90 persen. (jpnn)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler