Shopaholic Cenderung Akibat Gangguan Psikologis

Kamis, 08 Agustus 2013 – 14:14 WIB

jpnn.com - SHOPAHOLIC merupakan sebutan bagi seseorang yang sangat suka berbelanja, namun sudah melebihi kewajaran. Sebuah studi terbaru yang dirilis para peneliti di San Francisco State University, menunjukkan beberapa sebab di balik perilaku belanja yang menyimpang ini, salah satunya berkaitan dengan psikologis.

"Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa shopaholic cenderung memiliki nilai-nilai materialistis," kata profesor psikologi di San Francisco State University, Ryan Howell, seperti yang dilansir laman Medical Daily, Rabu (7/8).

BACA JUGA: Mix and Match Jilbab, Sesuai Bentuk Tubuh dan Wajah

Studi ini memang tidak mengaitkan antara shopaholic dengan beberapa faktor seperti jenis kelamin, kepribadian, usia, atau pendapatan. Studi ini justru menghubungkan antara shopaholic dengan manajemen kredit yang buruk. Sebab, sebagian besar shopaholic tidak membayar tagihan kartu kredit tepat waktu dan tidak memerhatikan laporan tagihannya.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa kartu kredit memungkinkan orang untuk membeli dan berbelanja, tanpa melihat atau menyerahkan uang fisik. Inilah yang menurut para peneliti membuat pola pikir shopaholic berbeda jika dibandingkan dengan mereka yang berbelanja tanpa kartu kredit.

BACA JUGA: Minum dari Botol Bikin Bibir Cepat Keriput

Dari itu pula muncul sebutan oniomania, yakni istilah yang digunakan untuk menggambarkan shopaholism atau orang yang belanja kompulsif. Onios adalah bahasa Yunani yang berarti dijual, dan mania berarti kegilaan. Istilah ini awalnya digunakan oleh psikiater pada awal abad ke-20.

Tidak banyak penelitian yang sudah dilakukan mengenai oniomania dibandingkan dengan kecanduan narkoba dan alkohol. Tetapi dalam beberapa dekade terakhir ini, dunia psikologi telah melakukan cukup banyak diskusi mengenai shopaholic.

BACA JUGA: 5 Fakta dan Mitos Seputar Seks

Dalam sebuah studi tahun 2005 di Kroasia, para penelitik menemukan bahwa shopaholic seringkali dipengaruhi oleh suasana hati, kecemasan, atau gangguan makan. Mereka juga berhasil mengobati seorang perempuan shopaholic dengan terapi kombinasi fluvoxamine, antidepresan, dan psikoterapi.

Sedangkan studi di San Francisco State University melakukan penelitian terhadap 1600 orang. Penelitian difokuskan pada pengelolaan uang, kebiasaan belanja, dan apakah obyek penelitian materialistis atau tidak. Sebagian besar shopaholic berkata bahwa mereka mendapat kesenangan tersendiri dari berbelanja.

Mereka percaya belanja dapat membantu meningkatkan harga diri mereka dan meningkatkan penampilan, reputasi atau hubungan mereka dengan orang lain. Meskipun gangguan psikologis mungkin menjadi penyebab di balik kecanduan belanja, para peneliti menyarankan para shopaholic untuk belajar mengelola kartu kredit mereka.(fny/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ibu Muda Tawarkan Jasa Menyusui Bayi Pasangan Gay


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler