jpnn.com - Physalis peruviana kerap dianggap sebagai tumbuhan liar, bahkan hama. Ternyata tumbuhan yang dikenal sebagai ciplukan itu punya banyak manfaat. Sumartini Dewi berhasil meraih doktor di FK Universitas Indonesia setelah menemukan khasiat lain ciplukan.
FERLYNDA PUTRI, Jakarta
BACA JUGA: Tenaga Medis Indonesia Masih Cueki Obat Herbal
Mata Sumartini Dewi basah ketika Prof Saleha Sungkar SpParK menyatakan bahwa dirinya lulus dan mendapatkan gelar doktor.
Dalam sidang terbuka di gedung IMERI FK Universitas Indonesia (UI) Rabu lalu (12/7), puluhan orang menjadi saksi Sumartini mempertahankan hasil penelitiannya.
Perempuan 47 tahun itu tidak menyangka bahwa saran kepada salah satu pasiennya tujuh tahun lalu tersebut membawa dampak luar biasa.
Saran yang sebenarnya diberikan lantaran dia sudah angkat tangan atas penyakit scleroderma yang membuat kulit dan paru-paru pasiennya kisut.
”Kondisi pasien saya waktu itu sedang hamil dan drop. Tidak bisa napas karena paru-parunya tidak mengembang,” tutur konsultan reumatologi di RS dr Hasan Sadikin, Bandung, tersebut.
Awalnya, dia menyarankan si pasien untuk ikut kemoterapi. Namun, ekonomi si pasien tergolong tak mampu. Memaksanya tinggal di rumah sakit akan memperberat keadaan.
Pasien pun menyerah dan minta pulang. Si pasien juga mendesak agar diberi obat herbal. Sebab, berbulan-bulan dia mengonsumsi obat kimia tapi tak kunjung membaik.
Scleroderma merupakan kelainan sistem imun atau kekebalan tubuh. Kulit penyandang scleroderma biasanya akan mengeras. Ujung jari pasien juga akan mengalami luka karena pembuluh darahnya menyempit.
Bahkan scleroderma bisa menyerang paru-paru, jantung, ginjal, dan saluran pencernaan. Jika menyerang organ dalam, tentu membahayakan. Misalnya menyerang paru-paru, bisa mengakibatkan kesulitan bernapas. Sebab, paru-paru tidak bisa kembang kempis.
”Saya ingat, pernah nonton di YouTube bahwa ciplukan mengandung zat yang mengurangi dampak kanker payudara. Saya juga ingat, ada zat dalam ciplukan yang sebenarnya bisa mengurangi dampak scleroderma. Karena itu, saya sarankan mengonsumsi rebusan buah ciplukan,” imbuh istri Soerachman Dwiwaloejo itu.
Beberapa hari kemudian, si pasien kembali datang ke tempat praktik Sumartini. Pasien tersebut bertanya, apa boleh merebus daun dan tangkai ciplukan.
Alasannya, kalau hanya buahnya, pasien tersebut kesusahan mencari. Selain itu, cepat habis begitu dikonsumsi.
”Saya sebenarnya sudah angkat tangan. Lalu, saya perbolehkan pasien itu mengonsumsi daun dan batang ciplukan juga,” ungkap ibu empat anak tersebut.
Sejak konsultasi itu, si pasien tidak kembali lagi. Sumartini berpikir si pasien sudah meninggal.
Tiga bulan berlalu. Pasien tersebut kembali ke klinik Sumartini. Dosen FK Universitas Padjadjaran itu pangling. Kulit pasiennya yang semula kaku dan kisut menjadi tampak segar.
Tak ada lagi wajah kaku seperti topeng. Yang terlihat adalah kulit yang halus dan terdapat lemak di dalamnya. Seperti kulit orang kebanyakan.
Pasien tersebut juga mengatakan tidak lagi merasakan sesak. ”Dalam tiga bulan, berat badannya naik 5 kilogram (kg). Bagi penyandang scleroderma, itu merupakan perkembangan bagus,” ujar Sumartini.
Hal tersebut tentu memberikan angin segar. Sebab, selama ini tidak ada perbaikan signifikan pada pasien dengan riwayat scleroderma yang menggunakan pengobatan biasanya.
Untung, Sumartini memiliki kebun di dekat rumahnya. Dia pun mengembangkan ciplukan. Anggota Asia Pacific League of Association for Rheumatology itu pun berniat melakukan penelitian. Tujuannya, membuktikan secara ilmiah ciplukan yang dapat menjadi obat scleroderma.
Sejak 2015, penelitian mulai dijalankan. Dia mengambil sampel secara acak pada pasien yang berobat jalan di RS Cipto Mangunkusumo dan RS dr Hasan Sadikin.
Namun, waktu itu dia tidak lagi meminta pasiennya untuk merebus sendiri ciplukan. Dia menggunakan ekstrak ciplukan.
Untuk mengamati, Sumartini mengategorikan dua kelompok pasien. Kelompok yang diberi ekstrak ciplukan dan yang tidak.
”Ekstrak ciplukan saya berikan sehari tiga kali dengan dosis 250 mg. Lama konsumsi 12 minggu,” katanya.
Obat kimia metotreksat pun tetap diberikan. Ekstrak ciplukan tersebut merupakan pendamping obat kimia.
”Hasilnya memperkuat metotreksat dan efek sampingnya sangat minim. Biasanya, kalau minum metotreksat, ada efek samping. Tapi, dengan minum ekstrak ciplukan, efek sampingnya tidak ada,” ucapnya.
Sejak penelitian tersebut, sekitar 20 pasien sudah terlihat membaik. Bahkan, mereka yang belum parah cenderung seperti orang sehat.
Untung, Sumartini mendapat dukungan dari sejawatnya. Apalagi, tumbuhan tersebut khas Indonesia. ”Ko-promotor saya, Prof dr Nyoman Kertia SpPD-KR, juga melakukan penelitian di UGM,” ucapnya.
Dia pun mendapatkan info bahwa ada pasien yang sudah berobat hingga Amerika tapi akhirnya menggunakan ekstrak ciplukan. Sebelum menggunakan ekstrak tersebut, kulit pasien masih kaku.
Dia juga sering merasakan sesak karena scleroderma sudah menyerang paru-parunya. Untuk berobat hingga Amerika itu, tentu ongkosnya tidak kecil. Tapi, hasilnya nihil.
Kini Sumartini sedang berfokus mengurus hak kekayaan intelektual (HKI) dari penelitiannya itu. Penelitian pun terus dikembangkan. Dia ingin mengembangkan pengobatan tersebut hingga seluruh Indonesia.
Pujian terhadap Sumartini pun datang dari guru besar ilmu penyakit dalam FK Universitas Gadjah Mada Prof dr Nyoman Kertia SpPD-KR. Menurut dia, uji klinis yang dilakukan Sumartini membuat khasiat ciplukan terbukti secara ilmiah.
Kertia menuturkan, di UGM sendiri memang berkembang pusat produksi herbal. Salah satunya adalah ekstrak ciplukan seperti yang digunakan Sumartini. ”Mungkin ke depan ada yang meneliti lebih lanjut,” katanya.
Penelitian Sumartini memang masih menggunakan ekstrak ciplukan sebagai pendamping obat kimia. Kertia berharap bisa ada penelitian ciplukan sebagai obat utama. (*/c11/oki)
Redaktur & Reporter : Soetomo