jpnn.com, SURABAYA - Para wali murid mengeluh setelah PPDB berlangsung masih harus mengeluarkan uang hingga Rp 2,1 juta untuk mendapatkan lima setel kain seragam sekolah untuk anak.
Banyak yang menilai harga kain tersebut tak wajar. Jika sekolah terbukti bersalah, uang yang telanjur diterima harus dikembalikan.
BACA JUGA: Silakan Lapor ke Ombudsman Jika Harga Seragam Sekolah tak Wajar
''Dikembalikan kepada wali murid. Kalau ombudsman tidak bisa langsung memberikan sanksi,'' Ketua Bidang Kajian Ombudsman Jatim Vice Admira Firnaherera.
BACA JUGA : Setelah Pusing Urus PPDB, Kini Orang Tua Syok Beli Seragam Anak Senilai Rp 2,1 Juta
BACA JUGA: Harga Seragam Sekolah dan Ongkos Jahit Total Rp 3 juta, Wajarkah ?
Ombudsman baru bertindak saat ada wali murid yang berani melaporkan kasus itu ke lembaganya.
Jika tidak ada yang berani melapor, uang tersebut bisa dikembalikan atas instruksi atasan atau pengawas internal sekolah. Dalam hal itu Dinas Pendidikan (Dispendik) atau Inspektorat Pemkot Surabaya.
BACA JUGA: Setelah Pusing Urus PPDB, Kini Orang Tua Syok Beli Seragam Anak Senilai Rp 2,1 Juta
Jika belum ada tindakan dari dispendik atau pemkot, wali murid disarankan melaporkan keluhan tersebut ke ombudsman.
Vice menjamin identitas pelapor bakal dirahasiakan Dengan begitu, wali murid tak perlu khawatir anaknya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari sekolah.
Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh negara dan pemerintah.
Sekolah negeri termasuk penyelenggara pelayanan pendidikan yang harus mematuhi ketentuan yang berlaku.
BACA JUGA : Harga Seragam Sekolah dan Ongkos Jahit Total Rp 3 juta, Wajarkah ?
Vice menyebutkan bahwa Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam bagi Peserta Didik Jenjang Dasar dan Menengah sudah jelas mengaturnya.
Dalam pasal 4 disebutkan, pengadaan seragam sekolah diusahakan sendiri oleh orang tua atau wali murid.
Pada ayat selanjutnya disebutkan, pengadaan pakaian seragam tidak boleh dikaitkan dengan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau kenaikan kelas.
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, ada juga larangan penjualan seragam oleh guru dan tenaga pendidikan.
Tepatnya dalam pasal 181. Pendidik dan tenaga pendidikan, baik perorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
''Tapi, sekolah pasti ngeles yang jual seragam bukan guru. Tapi koperasi,'' kata Alumnus Universitas Gadjah Mada itu. Namun, jika praktik tersebut terus-menerus dilakukan, yang dirugikan adalah wali murid.
Anggota Dewan Pendidikan Surabaya Murpin Josua Sembiring sepakat dengan usulan pengembalian uang itu jika sekolah terbukti mencari keuntungan.
Namun, dia percaya bahwa guru-guru tidak mencari keuntungan pribadi dari hasil penjualan kain tersebut.
''Ada masalah klasik yang selama ini tak terlihat secara langsung,'' kata pria yang baru saja dilantik sebagai rektor Universitas Ma Chung itu.
Masalah yang dia maksud adalah sekolah tak memiliki anggaran taktis. Padahal, setiap tahun sekolah membutuhkan anggaran tersebut untuk berbagai kegiatan sekolah yang tidak ter-cover APBD.
Misalnya, anggaran untuk memberangkatkan siswa untuk lomba ke luar kota atau provinsi.
''Nah, sekolah di satu sisi dituntut untuk terus berprestasi. Di sisi lain, anggaran untuk pemberangkatannya kadang tak dipikirkan,'' katanya.
Salah satu cara untuk menyiasati itu adalah menyelipkan anggaran tersebut ke biaya seragam sekolah. Namun, Murpin tak sepakat jika hal itu terus-menerus dilakukan.
Dinas pendidikan yang menyuntik dana untuk sekolah diharapkan mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengeluaran sekolah di luar anggaran yang diberikan. Misalnya, pembatasan jumlah lomba.
''Atau dinas pendidikan menyediakan anggaran taktis yang fleksibel. Sekolah tinggal mengajukan jika butuh,'' jelasnya.
Dengan begitu, para guru dan tenaga pendidik lainnya tak akan dipusingkan dengan urusan uang. Jika dibiarkan, tugas utama para guru sebagai pendidik bisa berbelok.
Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi menyatakan bahwa tidak ada kewajiban membeli seragam di koperasi sekolah.
Wali murid dibebaskan membeli di luar sekolah. Namun, jika ada ketidakwajaran harga, seharusnya ada ruang komunikasi antara koperasi dan wali murid.
''Kalau harga tidak wajar, kan bisa disampaikan ke sekolah melalui komite agar bisa dibicarakan dengan baik,'' tuturnya. (sal/c22/git/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ombudsman Sebut PPDB Sistem Zonasi Kurangi Jual Beli Kursi di Sekolah Favorit
Redaktur & Reporter : Natalia