jpnn.com - SURABAYA – Sebentar lagi jumlah penduduk kota besar bertambah setelah Lebaran. Alias urbanisasi. Bedanya, urbanisasi kali ini adalah perpindahan orang-orang berkemampuan untuk bersaing di kota besar. Termasuk Surabaya.
Momen pasca-Lebaran selalu dimanfaatkan masyarakat dari daerah untuk mencari pekerjaan di kota besar. Biasanya mereka diajak saudara atau kerabat yang lebih dahulu mengadu nasib di perantauan.
BACA JUGA: Mudik, Kaca Mobil Asisten Pelatih Persib Jadi Korban Jahil
Karena iming-iming penghasilan besar, mereka yang belum memiliki keterampilan pun mencoba peruntungan.
Namun, gambaran di atas rupanya mulai ditinggalkan masyarakat sejak dua tahun belakangan. Kalaupun ada, jumlahnya hanya sedikit.
Fenomena baru saat ini, kota besar dibanjiri banyak pendatang dengan keterampilan memadai dan berpengalaman. Akibatnya, persaingan kerja di kota besar semakin ketat.
Pakar statistik Kresnayana Yahya mengatakan, saat ini terjadi perubahan konsep urbanisasi. Dulu, bentuk dan pola perpindahan masyarakat mengarah pada sektor industri. Namun, saat ini lebih banyak ke sektor pelayanan. Menurut dia, kota besar kini dimasuki banyak orang berpendidikan. Hal tersebut diikuti dengan tingkat kompetensi yang lebih tinggi daripada sekadar pekerja kasar. ''Yang masuk ke Surabaya adalah orang-orang dari kota kedua atau ketiga yang sudah berpengalaman kerja di sektor masing-masing,'' jelas dosen senior sekaligus pendiri Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu.
Misalnya, tenaga kerja yang sebelumnya pernah bekerja sebagai manajer, teknisi, atau salesman. Setelah mendapatkan pengalaman kerja, mereka cenderung memilih kota besar sebagai tujuan. Sedangkan para pekerja yang tidak berketerampilan lebih memilih ke daerah yang investasi industrinya semakin tinggi. Misalnya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, bahkan Nganjuk.
Urbanisasi intelektual dengan kelas yang sudah berpengalaman tidak hanya memengaruhi tingkat persaingan di sektor formal. Tetapi, juga merambah ke pekerjaan di sektor informal. Misalnya, pembantu rumah tangga.
Di kota besar, masyarakat tidak lagi membutuhkan pembantu serabutan seperti dulu. Yang lebih banyak dibutuhkan, antara lain, tukang kebun atau tukang listrik.
BACA JUGA: 10 Remaja yang Nistakan Agama, Diminta Bersumpah di Depan Ulama
''Kalau pembantu rumah tangga, mereka lebih membutuhkan yang memiliki keterampilan lebih seperti babysitter atau perawat orang tua. Pembantu yang tidak bisa masak tidak akan laku,'' paparnya.
Begitu pula pekerjaan sopir. Sekarang tenaga kerja itu lebih banyak disalurkan sebagai sopir taksi. Untuk bisa menjadi seorang driver, setidaknya mereka harus sudah mengantongi lisensi keterampilan mengemudi berupa SIM. ''Upah minimum di Surabaya semakin mahal, maka dibutuhkan tenaga kerja dengan skill tinggi dan punya pengalaman,'' imbuhnya.
Konsep urbanisasi jenis baru itu rupanya membawa keuntungan bagi kota yang ditinggali. Menurut Kresnayana, tenaga kerja terampil biasanya memiliki daya beli yang cukup. Dengan begitu, mereka mampu membayar sewa kos atau apartemen yang tidak kumuh.
Karena itu, ketakutan masa lalu tentang dampak urbanisasi yang menimbulkan kawasan kumuh dan kesenjangan sosial mulai hilang.
Meski demikian, dampak negatif tetap saja ada. Yang paling terasa adalah kepadatan lalu lintas. Sebab, pendatang biasanya membawa kendaraan untuk memudahkan mobilitas mereka.
BACA JUGA: Penistaaan Agama di Facebook, Ketua MUI Sampang Dapat dari Wasap
Penambahan jumlah kendaraan yang tak terkendali mengakibatkan kondisi badan jalan semakin sesak.
Untuk menghadapi perubahan konsep urbanisasi tersebut, pemerintah kota harus mempersiapkan diri. Caranya dengan menambah fasilitas untuk memudahkan kebutuhan masyarakat. Misalnya, mempercepat pembangunan public transportation.
Harapannya, masyarakat yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi beralih ke moda transportasi masal.
Secara terpisah, Kabid Perencanaan dan Pengendalian Penduduk Dispendukcapil Surabaya Arief Boediarto menjelaskan, salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatur arus urbanisasi adalah mengadakan operasi yustisi. Warga luar yang tinggal dan bekerja di Surabaya, tapi tidak punya KTP atau SKTS akan dibina.
''Kami beri imbauan agar segera mengurus dokumen kependudukan,'' terangnya.
Yustisi biasanya dilakukan delapan kali dalam sebulan. Sasaran tersebar di seluruh wilayah Surabaya. Khususnya, daerah industri seperti Rungkut, Asem Rowo, dan Morokrembangan.
Mendekati Lebaran, dispendukcapil juga memantau wilayah-wilayah tertentu. Biasanya, sebulan setelah Lebaran, mereka mengadakan operasi yustisi untuk menjaring pendatang yang tidak memiliki pekerjaan tetap
. ''Satu bulan setelah Lebaran, biasanya baru kelihatan dia mau tinggal atau hanya mengunjungi saudara di Surabaya,'' tuturnya.
Untuk mengadakan operasi yustisi, dispendukcapil bersinergi dengan aparat lain. Mulai ketua RT/RW, lurah, camat, hingga satpol PP. Mereka menganalisis kedatangan penduduk musiman di daerah masing-masing.
Prinsipnya, pendatang boleh saja masuk ke Surabaya. Namun, mereka harus memiliki keterampilan dan bisa mendapatkan pekerjaan tetap. Yang belum membekali diri dengan keahlian khusus sebaiknya tidak coba-coba mengadu nasib ke Surabaya.
''Daripada telantar dan dikhawatirkan meningkatkan T4 (tempat tinggal tidak tetap, Red),'' ucapnya.(ant/c7/oni)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata Para Remaja yang Nistakan Agama itu Anggota Geng
Redaktur : Tim Redaksi