Siapkan Rp 360 M Berantas Buta Huruf Tahun Depan

Tantangan Besar Di Jawa Timur dan Jawa Tengah

Selasa, 28 Agustus 2012 – 08:52 WIB
JAKARTA- Penghargaan King Sejong Literazy Prize yang belum lama ini diterima Indonesia dari UNESCO menjadi pelecut semangat pengentasan buta aksara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemenikbud) menargetkan pada 2015 nanti Indonesia bisa menyandang predikat bebas buta akasara.

Menurut Direktur Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini Non-Formal dan Informal (PAUDNI) Kemendikbud Ella Yulaelawati di Jakarta kemarin (27/8), target tersebut bisa terwujud karena tren pengentasan buta aksara di Indonesia per tahunnya lebih dari satu juta jiwa. "Bebas buta aksara itu bukan berarti nol, tidak ada yang buta aksara. Itu tidak mungkin," ucap dia.

Ella menuturkan, tahun ini pemerintah bisa menekan angka buta huruf lumayan tinggi. Dia menyebutkan, pada 2010 jumlah penyandang buta aksara di Indonesia mencapai 7,5 juta jiwa. Tapi, setahun berselang, jumlahnya menyusut menjadi 6,7 juta jiwa. "Tahun 2012 masih berjalan. Mudah-mudahan hasilnya positif," tutur Ella.

Untuk menggaran penuntasan penyandang buta aksara ini, pemerintah bakal mengucurkan anggaran sebesar Rp 360 miliar lebih tahun depan. Uang tersebut dikucurkan dalam bentuk dekonsentrasi alias langsung ditransfer ke daerah.

Menurut Ella, uang tersebut akan ditransfer terutama ke daerah-daerah kantong buta aksara. "Seperti di Jatim atau Jateng," kata dia.

Selain itu, Kemendikbud juga menyiapkan anggaran untuk mengentaskan buta aksara di daerah-daerah tertentu yang butuh perhatian khusus. Seperti di NTT dan Papua.
Dia berharap anggaran tersebut bisa digunakan secara efektif untuk pengentasan buta aksara. Menurut Ella, program pengentasan buta aksara di Indonesia membuat UNESCO kepincut karena berjalan cukup santun. "Kami tidak mengkonfrontir dengan budaya setempat," katanya.

Contohnya untuk pengentasan buta aksara di kalangan Suku Badui, Ella mengatakan tetap menampung aspirasi masyarakat setempat. Misalnya, pengentasan buta aksara di suku Badui tidak menggunakan sistem pendidikan yang formal.

Sebab, suku Badui menilai jika sistem pendidikan formal bisa merusak budaya asli mereka. "Ya kita turuti, intinya tidak boleh buta aksara terus," terang Ella.

Selama mengejar target pengentasan buta aksara itu, Ella mengatakan pemerintah mendapatkan tantangan besar di Jatim dan Jateng. Sebab, di dua provinsi itu angka buta aksaranya tertinggi se Indonesia. Selain itu, Ella mengatakan penyebab banyaknya buta aksara di dua provinsi tadi juga berbeda.

Untuk di Jatim, Ella mengatakan tingginya buta aksara tidak hanya disebabkan karena banyaknya penduduk dan kemiskinan saja. Tetapi juga disebabkan karena budaya setempat.

Dia menuturkan, di Jatim, terutama di daerah tapal kuda dan Madura, masih ada pandangan jika bisa baca tulis huruf Arab sudah cukup. "Bahkan sudah bisa berceramah kemana-mana," kata Ella.

Namun, apapun tantangannya, Ella mengatakan buta aksara di Jatim harus diselesaikan. Dia juga bersyukur Pemprov Jatim sudah menganggarkan lebih dari Rp 100 miliar hanya untuk pengentasan buta aksara ini.

Sedangkan untuk di provinsi Jateng, lebih disebabkan karena banyaknya penduduk dan tingkat pendidikan. Data terakhir pada 2011 lalu, di Jateng ada 986.179 jiwa penyandang buta aksara. (wan/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Guru Tak Lulus UKG

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler