Sidak Ombudsman di Sejumlah Lapas Menuai Sorotan

Senin, 06 Januari 2020 – 16:07 WIB
ILUSTRASI. Lapas. Foto: Antara/HO/Dokumen Kemenkumham Papua

jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menegaskan inspeksi mendadak (Sidak) atau pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman RI (ORI) ke sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sangat berlebihan. Bahkan Boyamin menilai komisioner ORI telah melakukan pelanggaran hukum.

Sidak Ombudsman itu terjadi di Lapas Sukamiskin, Bandung pada Jumat (20/12/2019), kemudian dilanjutkan ke Lapas Cipinang, Jakarta Timur dan Lapas Cibinong, Jawa Barat.

BACA JUGA: Enam Napi yang Kabur dari Lapas Belum Tertangkap

“Ombudsman hanya diberi wewenang terhadap pelayanan publik bukan penegakan hukum,” tegas Boyamin dalam keteragan persnya, Senin (6/1/2020).

"Ombudsman telah melakukan perbuatan melawan hukum,” lanjutnya.

BACA JUGA: Fasilitas Mewah di Lapas Pondok Rajeg Cibinong

Dia memandang, tindakan komisioner ORI Adrianus Meliala dan timnya sangat berbahaya untuk keamanan Lembaga Pemasyarakatan, apalagi sekelas Lapas Sukamiskin.

“Mereka tidak sesuai prosedur karena nyelonong saja. Tanpa ada koordinasi dengan Pimpinan Lapas Sukamiskin dan Kakanwil setempat,” ujarnya.

BACA JUGA: Ombudsman Temukan Fasilitas Mewah di Sel Setya Novanto dan Nazaruddin

"Kalau misalnya ada napi kabur atau kemudian memicu kerusuhan karena sistem keamanan yang ketat tiba-tiba ada orang masuk ke sel napi, bagaimana?. Pengunjung saja sampai ruang besuk,” ujarnya.

Mengenai muncul penilaian sidak ORI itu penuh agenda terselubung, Bonyamin tidak melihat sejauh itu. Kendati reaksi sejumlah pihak atas temuan ORI itu langsung memunculkan tudingan miring yang dialamatkan kepada Menkumham Yasonna Laoly.

"Saya tidak melihat ada unsur untuk mempermalukan Yasonna. Saya lebih kepada ORI ingin membuat gebrakan dan merasa hebat," tudingnya.

Menurut Boyamin, kalau sidak Ombudsman ingin mengungkap perlakuan diskriminasi di dalam lapas, justru hal itu mesti dilihat kembali lebih jernih.

Sebab, hampir semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia belum memenuhi standar minimum kamar hunian narapidana.

Merujuk pada standar minimum perlakuan terhadap narapidana yang ditetapkan oleh PBB  melalui  'The Nelson Mandela Rules' yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dalam The Nelson Mandela Rules' nomor 12 tentang akomodasi disebutkan bahwa, masing-masing narapidana harus memiliki sel atau kamar sendiri.

Pemerintah juga harus memastikan, ruangan kamar narapidana harus memenuhi persyaratan kesehatan, memiliki pencahayaan yang memadai, pengatur suhu dan ventilasi yang cukup.

Masing-masing kamar juga harus dilengkapi kamar mandi dengan suhu yang cocok.

Dengan mengacu pada The Nelson Mandela Rules', menurut dia, Menteri hukum dan HAM juga telah menerbitkan Permenkumham nomor : M.01.PL tahun 2001 tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan menyatakan bahwa standar luas kamar pada lapas atau rutan adalah minimal 5,40 m2.

“Namun faktanya, hampir semua lapas dan rutan mengalami over capacity karena ketidakseimbangan antara yang masuk dan keluar," jelasnya.

Over capacity menimbulkan dampak buruk dan cenderung akan menimbulkan pelanggaran hak asasi narapidana, diantaranya, sanitasi menjadi buruk sehingga menimbulkan tekanan psikologis dan berbagai macam penyakit bahkan yang paling ekstrem menimbulkan kriminalitas baru didalam lapas/rutan.

"Makin besar jumlah narapidana, maka potensi konflik semakin besar sehingga petugas Lapas akan lebih mengedepankan pendekatan keamanan sehingga pendekatan pembinaan atau rehabilitasi terhadap narapidana kurang mendapat perhatian," imbuhnya.

Terkait isu yang berkembang bahwa napi tipikor mendapat perlakuan khusus, tentu perlu didalami. Kondisi ini kasuistik dan juga terjadi pada narapidana non tipikor, sehingga tidak bisa digeneralisir bahwa semua napi tipikor mendapat perlakuan istimewa.

Kalaupun ada, jumlah napi tipikor yang mendapat perlakuan istimewa jauh lebih kecil dibandingkan jumlah napi tipikor yang mencapai 4000 orang hanya dibawah 1 persen. Artinya, jumlah napi tipikor yang tidak mendapatkan perlakuan istimewa jauh lebih besar.

Kedepannya kata dia, pemerintah perlu melakukan pembenahan di dalam lapas. Opini yang berkembang bahwa sistem kepenjaraan sebagai upaya balas dendam tanpa memandang hak asasi manusia harus diubah. Disamping itu, masalah over capacity lapas harus segera dipecahkan agar hak-hak narapidana khususnya hak asasi bisa terpenuhi.

"Sangat tepat jika RUU tentang lembaga pemasyarakatan yang lebih manusiawi bisa secepatnya disahkan oleh DPR agar tidak ada pelanggaran hak asasi manusia di dalam lapas," tandasnya.

Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas (UI) Indonesia Ganjar Laksmana Bondan menyatakan apa yang dilakukan ORI ke Lapas Sukamiskin dan lapas lainnya masih bagian dari tupoksinya.

“Hanya saja memang apakah menjadi prioritas atau bukan?," ujarnya.

Sepanjang masih tupoksi, menurut Ganjar tidak masalah. Dalam pandangannya, ORI sepertinya sedang ‘survei’ bahwa koruptor memang kerap diistimewakan sejak berbuat, ditangkap/diproses, sampai dengan menjalani pidana.

Ganjar tidak melihat ada upaya untuk mempermalukan Menkumham. Karena kasus yang sama juga terjadi saat menteri dijabat yang lain.

"Terlalu banyak faktor penyebab, tetapi yang utama adalah adanya semacam simbiosis mutualisma alias saling menguntungkan. Yang jaga butuh uang, yang dijaga punya (kelebihan) uang," ujarnya.

Namun jauh dari itu, sistem kepenjaraan di Indonesia perlu dilihat lebih komprehensif, apalagi sudah banyak pembaharuan dalam sistem kepenjaraan di Indonesia.

Pembaharuan penjara mengalami masa paling bersejarah dimasa Sahardjo menjadi Menteri Kehakiman. Pada tahun 1964, melakukan perubahan yang sangat signifikan dalam mereformasi sistem penjara di Indonesia.

Nama penjara yang berkonotasi menghukum dan memberi efek jera, diubah menjadi lembaga kemasyarakatan yang orientasinya membina narapidana.

Dalam konteks ini, negara bertindak mengayomi, membina dan melindungi masyarakat dan narapidana. Lembaga pemasyarakatan bukan sebagai tempat hukuman yang menyiksa, tetapi tempat pembinaan dan pendidikan untuk menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat.

Seperti diberitakan sebelumnya, Adrianus meliala saat sidak ke Lapas Sukamiskin menemukan bukti kamar tahanan terpidana e-KTP Setya Novanto memiliki ukuran yang lain dengan kamar napi lainnya. Termasuk juga untuk terpidana korupsi lain seperti mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin dan mantan jenderal polisi Djoko Susilo.

Bahkan sel milik mantan Ketua DPR Setya Novanto digembok dan hanya bisa dibuka dengan sidik jari. Dalam penilaian Ombudsman kondisi itu tidak standar.

Sebelumnya Adrianus Meliala juga membantah kedatangannya ke lapas sebagai inspeksi mendadak, melainkan undangan dari pihak lapas. Kata dia, kepala kantor wilayah (Kakanwil) Kemenkumham Jawa Barat juga marah besar melihat kondisi yang terjadi.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Ombudsman   lapas   Sidak   MAKI   Boyamin Saiman  

Terpopuler