Sikap Terbaru Partai Gelora Atas Kenaikan Parliamentary Threshold

Kamis, 11 Juni 2020 – 19:19 WIB
Para pengurus Partai Gelora saat mengurus akta notaris di Jakarta pada 4 November 2019. Foto: dokumentasi Mahfuz Sidik for jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia belum menentukan sikap atas wacana kenaikan ambang batas parlemen alias parliamentary threshold (PT) dari 4 menjadi 7 persen seperti tertuang dalam resvisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Gelora Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan, saat ini partainya melihat hal lain yang lebih urgen untuk dibahas ketimbang kenaikan PT. Yakni soal pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (Pileg) serta pemilihan presiden (Pilpres) secara serentak.

BACA JUGA: Update Corona 11 Juni: Penambahan Pasien Positif Covid-19 Masih Tinggi

Berkaca dari pengalaman, kata dia, model pelaksanaan Pemilu secara serentak itu membuat ratusan panitia penyelenggara pemilu meninggal dunia, karena faktor kelelahan.

Oleh karena itu, Partai Gelora mengusulkan agar revisi yang akan datang fokus pada pelaksanaan Pilpres dan Pileg.

BACA JUGA: Update Corona 11 Juni: Angka Kesembuhan Pasien Covid-19 Terbanyak di Jakarta

"Itu seharusnya prioritas revisi. Sebab, praktik yang lalu, pengalaman menunjukan kompleksnya penyelenggaraan sehingga ratusan petugas meninggal karena kelelahan. Kalau PT, menurut saya tidak terlalu prioritas dan tidak terlalu penting," ujar dia, Kamis (11/6).

Meski demikian, mantan Ketua Komisi I DPR RI itu mengatakan, kenaikan PT menjadi 7 persen berpotensi melahirkan kecemasan partai politik. Ujungnya, akan muncul guncangan politik dalam penyelenggaraan Pemilu.

BACA JUGA: Update Peristiwa Sejumlah Pengemudi Ojol di Surabaya Jemput Paksa Jenazah Positif COVID-19

"Kalau sekarang kenaikan PT melompat sampai 7 atau 8 persen, akan menciptakan kejutan dan guncangan politik pemilu," kata Mahfud.

Dia pun meminta DPR dan pemerintah melihat dua faktor dalam penetapan PT untuk Pemilu 2024 mendatang. Yakni filosofi representasi keragaman masyarakat Indonesia dalam proses politik serta variabel penyederhanaan parpol.

Terkait filosofi representasi keragaman itu, kata Mahfuz, harus dilihat berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Sebab, kemajemukan itu mempengaruhi pilihan politik setiap masyarakat.

"Jadi, kemajemukan harus terepresentasi secara baik dalam sistem pemilu," ujar dia.

Sedang soal variabel penyederhanaan parpol, Mahfuz berpendapat, agar hal tersebut harus menjadi pertimbangan.

Dia mengutarakan bahwa ide penyederhanaan parpol tak bisa mendorong Indonesia kembali ke era Orde Baru, di mana hanya terdapat tiga parpol.

"Jumlah maksimal 15 parpol seperti yang terjadi dalam 20 tahun terakhir merupakan yang terbaik untuk mewakili berbagai aliran politik yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Kalau pun ada penyederhanaan, ya, penyederhanaan itu maksimal 15 parpol dan itu sudah mewakili aliran politik di Indonesia. Kalau didorong PT jadi 7 atau 8 persen, sangat mungkin hasilnya penyederhanaan bisa tinggal lima parpol," pungkas Mahfudz

Sebagai informasi, Komisi II DPR RI tengah menggodok tiga opsi terkait PT dalam pembahasan dalam revisi UU Pemilu. Sebanyak tiga opsi itu adalah tetap di angka 4 persen, naik menjadi 7 persen, atau ambang batas yang berjenjang. (mg10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler