jpnn.com - JAKARTA - Pimpinan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) La Ode Ida menanggapi tuntutan para tenaga honorer kategori (K2) yang terus mendesak agar diangkat jadi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Menurut La Ode, memang terasa menyedihkan karena mereka datang ke Jakarta dari berbagai pelosok negeri dengan biaya sendiri. Sementara, honor bulanan yang mereka terima tidak seberapa.
BACA JUGA: ââ¬Å½Moratorium Ganjal Rencana Pembahasan 87 RUU Pemekaran
"DPR pun sudah kerap bersuara agar pemerintah memperhatikan tuntutan para tenaga honorer itu. Namun hingga hari ini, belum juga ada tanda-tanda kepastian," kata Ida, di Jakarta, Selasa (23/2).
Sikap pemerintah tersebut lanjut mantan Wakil Ketua DPR RI ini, bisa dipahami. Sebab pengangkatan honorer membawa sejumlah konsekuensi.
Pertama ujarnya, pengangkatan PNS membawa konsekuensi ketersedotan anggaran negara. Di sisi lain, jumlah PNS dinilai sudah terlalu banyak.
"Bahkan ada wacana pemerintah memensiunkan dini sebagian PNS. Apalagi mereka yang tidak produktif. Sehingga jika diangkat tenaga honorer jadi PNS akan kian memperberat beban negara di tengah rendahnya proktivitas PNS," tegas Ida.
Kedua, jika honorer sekarang ini diangkat, maka tak ada jaminan tenaga honorer segera habis. Paslanya. rangsangan untuk jadi tenaga honorer masih tinggi karena kelanjutan dari PP Nomor 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon PNS, dimana seolah-olah ada jaminan honorer jadi PNS.
BACA JUGA: Musuh FPI Ini Dapat Penghargaan dari Komnas HAM
“Dan watak instansi, utamanya di jajaran Pemda yang mudah menerima uang untuk masuknya tenaga honorer," jelasnya.
Kendati begitu, menurut Ida, tenaga honorer bukan berarti tak dibutuhkan. Bahkan banyak di antara mereka, utamanya tenaga fungsional seperti perawat, guru, bidan, dan tenaga penyuluh, sungguh-sungguh sangat dibutuhkan.
"Kondisi tersebut di atas inilah yang musti diperhatikan oleh pihak pemerintah. Yakni dimensi kebutuhan dan fungsi tenaga honorer bagi pihak instansi pengguna," sarannya.
Ida menyarankan pemerintah untuk melibatkan Pemda untuk memastikan nasib tenaga honorer ini. "Toh, dalam UU tentang ASN ada ruang terbuka untuk pegawai pemerintah yang diangkat berdasarkan kontrak (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, red). Namun harus ada kepastian komitmen untuk tidak lagi memberi ruang bagi adanya honorer lagi," ujar mantan senator dari Sulawesi Tenggara itu.
Pemerintah harus punya data base yang up-date dan valid yang menunjukkan di daerah mana saka yang sudah over tenaga PNS, dan daerah mana yang masih minim yang perlu ditambah, sehingga tidak terkesan hanya menolak seperti sekarang ini.
BACA JUGA: Tanpa Kajian Akademik, UU KPK Tak Usah Diutak-atik
"Padahal di sebagian besar di Indonsia ini masih banyak yang butuh PNS, utamanya di kawasan terpencil dan atau perbatasan. Bahkan informasi dari pihak PGRI misalnya, di Pulau Jawa saja masih butuh banyak tenaga guru," pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Sentil BUMN yang Masih Pakai Barang Impor
Redaktur : Tim Redaksi