jpnn.com, TERNATE - Peringatan Hari Aids Sedunia (HAS) tahun ini rasanya amat istimewa bagi Marice dan pasangan suami istri Anita Sabari dan Theluis M. Tiga ODHA (orang dengan HIV/AIDS) itu diberi kesempatan untuk berbicara di depan publik mengenai penyakit yang mereka derita.
Tak sekadar berbagi, ketiganya juga mengungkapkan “keajaiban” yang dialami usai divonis mengidap virus mematikan itu
BACA JUGA: Inilah yang Dilakukan Ribuan Penghuni Pulau Saat Dilanda Kegelapan
WAHYUDIN MADJID, Ternate
Taman Nukila ramai seperti biasanya. Hanya saja pagi itu (4/12), tampak berseliweran orang-orang berkaus hitam dilengkapi aksesoris pita merah di dada. Ya, peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Maluku Utara (Malut) memang tengah dipusatkan di taman kebanggaan warga Kota Ternate itu.
Usai senam sehat, tampil dua wanita dan satu pria asal Halmahera Utara (Halut). Ketiga orang tersebut, yakni Marice dan pasangan suami istri (pasutri) Anita Sabari dan Theluis M. Mereka adalah orang-orang yang telah divonis mengidap HIV dan AIDS (ODHA). Pagi itu ketiganya diberikan kesempatan untuk berbicara tentang penyakit yang dideritanya.
Pasutri Theluis dan Anita divonis mengidap AIDS pada 2011 lalu, setahun setelah keduanya menikah. Kala itu, Theluis mengalami keputihan dan timbul benjolan kecil di lehernya. Oleh suaminya, ia dibawa memeriksakan diri ke RSUD Tobelo.
”Awalnya saya pikir Cuma penyakit biasa saja,” ungkapnya seperti dilansir Malut Post (Jawa Pos Group).
Setibanya di RS, perawat menanyakan keluhan apa yang ia rasakan. Theluis pun menceritakan soal keputihan dan benjolan tersebut. Perawat lantas melaporkan pada dokter. Setelah memeriksa lehernya, oleh dokter Theluis ditanya apakah bersedia diperiksa darahnya untuk mengetahui apakah ada virus HIV di tubuhnya. ”Dan saya sampaikan bersedia diperiksa,” tuturnya.
Sementara darahnya diperiksa di laboratorium, Theluis keluar ruangan dan menghampiri suaminya. Kepada Anita, ia menceritakan bahwa dokter mengambil darahnya untuk diperiksa ada tidaknya virus HIV. Sang suami mengajaknya berdoa semoga hasilnya negatif.
”Meski suami saya berikan semangat dan meminta agar berdoa, tapi saya merasa takut sekali ketika menunggu hasilnya. Sebab banyak orang menceritakan bahwa jika kita terkena virus HIV dan AIDS maka hidup kita tak akan lama lagi,” kata Theluis.
Bagi Theluis, penantian terhadap hasil lab merupakan salah satu penantian yang dirasa paling lama dan paling meresahkan sepanjang hidupnya. Begitu dipanggil lagi oleh dokter untuk masuk ruangan, ia kembali menghadapi dokter seorang diri. Meski telah bersiap untuk kemungkinan terburuk, Theluis tetap kaget setengah mati ketika dokter menyampaikan ia positif terkena AIDS.
“Saya kaget dan menangis. Rasanya ingin berteriak hingga saya harus menutup mulut sendiri dengan jaket. Dalam pikiran saya, hidup tidak akan lama lagi dan tak bisa beraktivitas seperti orang lain. Harapan saya seperti sudah mati, sebab yang ada dalam pikiran pada waktu itu hanyalah kematian yang ditunggu,” katanya.
Setelah ia merasa agak tenang, dokter lalu menyemangati dan memotivasinya. Sang dokter berjanji akan menangani dan memberikan obat untuknya. Dokter juga meminta agar suaminya ikut diperiksa darahnya.
“Saya keluar ruangan dan beritahu kepada suami bahwa saya positif. Suami juga bersedia dites darahnya,” kata Theluis.
Beberapa saat kemudian, giliran Anita yang harus menyampaikan kabar sedih itu pada istrinya. Sembari meneteskan air mata, terbata Anita menyampaikan hasil tesnya yang juga positif.
”Namun dokter memotivasi kami, bahwa Rumah Sakit Hodiahi (RS khusus penyakit dalam, Red) akan siap menangani penyakit yang kami derita,” tutur Theluis.
Pasutri ini lantas “ditahan” di Hodiahi selama seminggu. Pihak RS menginginkan mereka untuk dapat berobat rutin.
”Kami tinggal di rumah sakit tak berharap siapa pun, hanya berharap kepada Tuhan yang akan menyembuhkan penyakit ini,” ungkap Theluis.
Selama seminggu itu, tak ada anggota keluarga yang menjenguk mereka. Anita dan Theluis pun menyiapkan diri jika keduanya nanti ditolak keluarga mereka sendiri. Namun alangkah beruntungnya, baik keluarga Theluis maupun Anita sama-sama menerima kondisi mereka.
”Meski sebagian keluarga dari suami memandang dengan sebelah mata, tetapi kami menanggapi dengan sabar,” ujar Theluis lagi.
Orang tua dan kakak-kakak Theluis yang tinggal di Makassar sempat berpikir umur Theluis tak akan lama lagi. Kedua orang tuanya bahkan sempat menyatakan mungkin hanya akan melihat jenazah putri mereka begitu tiba di Malut.
”Waktu itu HB saya sempat tinggal 2. Saya mengalami kejang-kejang. Karena kondisi yang sudah parah, kakak-kakak meminta orang tua untuk segera ke Tobelo,” kisahnya.
Beruntung, setelah disuntik morfin dosis tinggi, Theluis langsung tertidur seperti orang pingsan. Hampir dua minggu lamanya ia tak bisa makan atau minum. Tiap kali ada sesuatu yang dimasukkan ke mulutnya, Theluis langsung muntah.
”Dokter minta pasang infuse, tapi tidak temukan urat saya. Sampai tiga dokter dan dua perawat yang mencari urat untuk dipasangi, tapi tak ditemukan. Saya sudah pucat, dan berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar pada saat itu. Suami dan orang tua hanya menangis dan meminta kepada Tuhan agar dapat menolong saya,” tutur Theluis.
Ajaibnya, Theluis berhasil melewati masa kritisnya. Beberapa hari kemudian, infusnya terpasang, dan ia mulai makan dan minum obat.
”Saya percaya itu semua karena doa seorang ibu dan suami yang tulus mendoakan. Juga tidak lepas dari dukungan dokter dan tim paramedis yang terus memberikan obat hingga saya bisa hadir untuk berbagi kisah di sini,” paparnya.
Sekitar setahun menjalani perawatan di RS, Anita dan Theluis akhirnya memilih untuk keluar RS. Kondisi keduanya sudah amat stabil dan dirasa mampu beraktivitas layaknya orang sehat lainnya.
Pasutri ini memilih tinggal di dekat RS, agar tak kesulitan mengambil obat yang harus terus dikonsumsi.
“Sebelum keluar, kami sampaikan kepada dokter bahwa kami tidak akan menutupi penyakit ini. Saya siap untuk ikut dalam kegiatan penyuluhan jika diperlukan untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa inilah ODHA. Selama ini mereka penasaran ingin melihat secara nyata bagaimana sebenarnya kondisi dari seorang ODHA,” kata Theluis bertekad.
Sebelum pindah ke desa yang mereka pilih, tim medis RS Hodiahi mengadakan penyuluhan tentang HIV/AIDS di desa tersebut. Theluis diundang untuk menjadi pembicara. ”Sekaligus saya sampaikan bahwa saya bersama suami akan tinggal di desa itu,” ucapnya.
Keduanya diterima tinggal di desa itu, meski sebagian warga masih memandang sebelah mata hingga mengucilkan mereka. Ketika pasutri ini berjualan sayur untuk menyambung hidup, sayur-mayur mereka tak laku. Begitu pula jualan kue yang dititipkan di sekolah.
”Warga tidak membeli kue yang dijual, karena warga merasa takut walaupun sebelumnya sudah dijelaskan tentang bagaimana penularan HIV dan AIDS,” tutur Theluis.
Butuh waktu yang lumayan lama sebelum akhirnya warga desa memperlakukan mereka layaknya orang-orang kebanyakan. Kini, tak ada lagi rasa takut terhadap Theluis dan Anita. Bahkan rumah mereka pun kerap disambangi warga, begitu pula sebaliknya.
”Karena warga sudah percaya bahwa kami tidak berbahaya buat mereka. Dan penyakit ini tidak seperti yang ramai dibicarakan orang, yang katanya cara penularannya dengan berpegangan tangan, duduk bersama, pemakaian alat makan atau minum yang sama dan lainnya. Penularannya bukan seperti itu,” ujar Theluis.
Ia menambahkan, penularan HIV hanya terjadi melalui pertukaran sperma dan cairan vagina, berganti-ganti pasangan seksual, transfusi darah, persetubuhan sesama jenis, dan penggunaan jarum suntik narkoba.
”Jadi diharapkan agar setia kepada pasangan, jangan ganti-ganti pasangan. Saya juga minta kepada ibu hamil agar periksa darah status HIV dan AIDS ke rumah sakit atau Puskesmas. Jika terinfeksi Anda akan segera ditangani oleh tim medis tanpa dibebankan biaya, semuanya gratis,” imbaunya.
Salah satu anugerah terbesar yang dirasakan pasangan ini adalah lahirnya Grace dan Holy, dua buah hati mereka. Yang lebih membahagiakan lagi, dua putri mereka sama sekali tak terinfeksi HIV. Grace lahir pada 2013 lalu. Tiga tahun kemudian, menyusul Holy. Keduanya dilahirkan melalui persalinan normal.
”Tak henti-henti saya ucapkan syukur kepada Tuhan karena rahmat yang diberikan-Nya,” ujar Theluis yang dibenarkan Anita.
Sementara Marice yang divonis HIV menyatakan baru mengetahui penyakitnya tahun ini. Sama seperti Theluis dan Anita, awalnya ia mengaku ketakutan dan malu, tak menyangka dirinya terinfeksi HIV. Beruntung, ada banyak petugas medis yang memberinya dukungan. Marice pun rutin menjalani pengobatan di RS.
”Siapa yang bilang kalau terkena virus HIV tak akan lama lagi kehidupannya. Yang penting tetap semangat dan bersedia konsumsi obat,” tuturnya.
Marice juga mengajak siapa saja yang merasa terinfeksi HIV agar tidak takut. Ia menegaskan, jangan pernah berpikir kalau setelah tertular HIV, hidup tak akan bertahan lama lagi. ”Hidup akan lama, asalkan ingin berobat. Jadi jangan malu untuk membuka diri. Karena itu hanya membuat kita akan terbebani,” sarannya.
Marice mengaku saat ini dia belum menikah. Tapi hal itu tak membuatnya malu dan takut untuk membuka statusnya sebagai ODHA. Ia yakin, Tuhan punya rencana terbaik untuknya. ”Saya yakin semangat hidup saya akan sangat membantu,” tuturnya.
Ia juga berharap masyarakat yang mendapat informasi tentang orang yang terkena HIV/AIDS agar tidak lagi mendiskriminasikan para ODHA. ”Karena kita juga manusia, bukan sampah yang dibuang. Kita juga minta pemerintah memperhatikan kami agar ODHA bisa diberikan peluang kerja seperti teman-teman yang lain agar kami dapat menghidupi kebutuhan kami sehari-hari,” tandasnya.(JPG/cr-03/kai/fri/jpnn)
Redaktur : Tim Redaksi