Simplifikasi Cukai Hanya Untungkan Perusahaan Asing, Fraksi PKB Minta RPJMN yang Rugikan IHT Diubah

Kamis, 23 Juli 2020 – 11:32 WIB
Ilustrasi pekerja di pabrik rokok. Foto: Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) harus diubah karena dinilai akan mematikan industri hasil tembakau (IHT) nasional lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

Salah satu turunan dari RPJMN adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/02/ 2020 yang akan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai di tahun 2021.

BACA JUGA: Simplifikasi Tarif Cukai Ancaman Bagi Sektor IHT, INDEF: Waspadai Naiknya Rokok Ilegal

“Kami tidak setuju dengan segala kebijakan yang memusuhi dan mematikan industri hasil tembakau nasional karena sudah jelas itu akan berdampak pada serapan produk tembakau yang rendah dan mengancam eksistensi pabrikan rokok menengah dan  kecil,  juga tenaga kerja, petani serta buruh rokok. Termasuk  produk turunannya yang terkait dengan industri hasil tembakau.  Ini kan dampaknya akan sangat panjang,” kata anggota Fraksi PKB Lulu Nur Hamidah, Kamis (23/7).

Meski begitu, Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Tengah IV  ini mendukung adanya regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.

BACA JUGA: Bank Dunia Dukung Indonesia Jalankan Simplifikasi Cukai Rokok

Sehingga anggota masyarakat yang tidak merokok seperti dirinya  tidak terpapar asap rokok dari para perokok. Namun bukan peraturan yang mematikan produksi rokok baik langsung maupun lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

Selain itu, dia juga tegas menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai di tahun 2021 sesuai  PMK No. 77/02/2020.

BACA JUGA: GAPPRI Berharap Presiden Jokowi Tidak Jalankan Simplifikasi Cukai

Alasannya jika kebijakan simplifikasi cukai dilakukan  berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau. Kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar asing. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik sekala menengah, kecil termasuk para petani tembakau.

“Dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok)  seperti saat ini saya kira itu sudah baik karena dinilai mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah dan kecil,“ tegas anggota Komisi IV ini.

Ditambahkan Lulu, saat ini, ada sekitar 487 pabrikan rokok, 98 persen dari jumlah tersebut  merupakan pabrikan menengah kecil. Jika simplifikasi ini diterapkan dia yakin banyak pabrikan rokok kecil dan menengah akan gulung tikar. Sementara jutaan tenaga kerjanya akan kehilangan mata pencaharian.

Apabila PMK No. 077/02/2020 jadi diterapkan, otomatis serapan bahan baku yang  dihasilkan  para petani tembakau  akan berkurang hingga 30 persen. Di samping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap  tingkat kesejahteraan petani tembakau.

“PMK No. 077/02/2020 ini akan menggerus dan bahkan membuat pabrikan rokok menengah kecil ini berguguran. Jutaan tenaga kerja atau buruh industri rokok khsususnya dari kalangan wanita akan kehilangan mata pencaharan. Jadi hal ini nanti akan menciptakan cycle atau lingkaran penderitaan yang berlapis-lapis. Kenapa  model simplifikasi cukai rokok  colonial mau diterapkan?," tanyanya.

Dipaparkan Lulu, cukai rokok sudah dinaikan sebanyak 23 persen pada akhir 2019 dan diberlakukan 2020.

Apabila pada 2021 dinaikan kembali akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal, saat semua sektor dan semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat wabah Covid 19.

“Kami dari komisi IV DPR RI dan Fraksi PKB akan segera mengambil tindakan untuk melakukan langkah langkah apa saja yang diperlukan untuk membatalkan PMK No. 77/02/2020 tersebut,“ tegas  Alumni Program Pasca Sarjana Sosiologi FISIP UI ini.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler