jpnn.com - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Bidang Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Desa mengadakan simposium nasional bertajuk "Peta jalan Indonesia Emas: Memperkuat Demokrasi, Pembangunan, dan Kesejahteraan”.
Simposium itu menghadirkan 2 Keynote Speaker, yakni Dr. Fachry Ali dan Prof. H. Emil Salim.
BACA JUGA: Ungkap Dosa-Dosa Ipda Rudy Soik, Polda NTT: Tak Layak Dipertahankan
Acara ini turut mengundang beberapa narasumber seperti Tauhid Ahmad, Refly Harun, Chusnul Mariyah, Prof Eko Priyo Purnomo, Ujang Komaruddin, Daud Yordan, Taufiqurokhman, dan Raziv Barokah.
Fachry Ali menjelaskan pentingnya kebijakan moneter dan fiskal dalam pembangunan ekonomi sangat dipengaruhi oleh subjektifitas Presiden.
BACA JUGA: Ketum Forkabi Tersinggung Tidak Ada Putra Betawi di Kabinet Prabowo
"Selain pengaruh hard power seperti partai politik dan kelompok kepentingan, soft power dari kaum intelektual dan teknokrat, termasuk HMI, sangat penting dalam membentuk kebijakan ekonomi masa depan," ucapnya dikutip JPNN.com, Kamis (17/10).
Sementara itu, Prof Emil Salim menekankan pentingnya cendikiawan muslim untuk mengembangkan akal rasio dalam penyelesaian masalah yang semakin kompleks di negara.
BACA JUGA: Terpilih Jadi Ketua MA, Sunarto Bantah Ada Intervensi Penguasa dan Pengusaha
"Masalah itu seperti perubahan iklim, semakin berkurangnya sumber daya alam, dan ekonomi yang lesu di mana perlu pendekatan ilmiah, bukan sekedar ibadah formalistik," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Desa PB HMI, Maryadi Sirat menjelaskan simposium ini dirancang sebagai ruang diskusi yang inklusif, kritis, dan konstruktif bagi seluruh elemen bangsa untuk melakukan evaluasi total terhadap pemerintahan sebagai bentuk pertanggungjawaban Insan Akademis untuk memberikan kritik konstruktif dan solusi.
"Pembahasan mendalam bersama para Narasumber diperlukan guna mencari solusi praktikal serta rekomendasi kebijakan yang tepat," kata Maryadi.
Dia menjelaskan berbagai masalah krusial yang berkaitan dengan tujuan bernegara di Indonesia menjadi fokus diskusi yang mendalam.
"Salah satu isu utama yang mencuat adalah disorientasi tujuan bernegara, yang dipicu oleh praktik nepotisme serta partai politik yang belum sepenuhnya demokratis. Akibatnya, hukum yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung justru berubah menjadi alat yang menguntungkan segelintir pihak," lanjut mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia itu.
Di sisi lain, jelasnya, otonomi daerah menghadapi tantangan besar karena ketidakseimbangan kewenangan dan keuangan antara pusat dan daerah.
Menurutnya, hal ini membuat banyak daerah masih bergantung pada pemerintah pusat, sehingga sulit untuk mencapai kemandirian yang diharapkan.
Dalam aspek ekonomi, kurangnya "penerapan prinsip Good Corporate Governance akan berdampak negatif pada pembangunan di berbagai sektor," tuturnya.
Simposium ini juga menyoroti pentingnya pendidikan politik yang komprehensif untuk mewujudkan demokrasi yang lebih matang.
"Perhatian lain juga tertuju pada potensi penyalahgunaan big data oleh Aparat Penegak Hukum ataupun Pejabat Pemerintahan untuk memengaruhi opini publik," kata Maryadi.
Dia menjelaskan Indonesia sekarang berada pada momentum transisi pemerintahan yang esensial sehingga harus terus diawasi dan dikawal terutama oleh mahasiswa sebagai pilar demokrasi.
"Hal ini dikarenakan beberapa permasalahan seperti penegakan hukum yang tidak berjalan, kecenderungan pemerintah yang lamban dalam merespon kritik publik dan semakin minimnya partisipasi para pemuda dan pemudi untuk memperbaiki keadaan," jelasnya.
"Keadaan ini menjadi isu yang perlu dikaji mendalam oleh PB HMI sebagai akademisi dan cendikiawan muslim Indonesia sehingga nantinya bisa dicarikan solusi secara holistik dan dapat memberikan masukan kebijakan yang progresif," pungkas Maryadi Sirait.
Dalam simposium nasional, sejumlah rekomendasi strategis diajukan untuk memperbaiki keadaan negara.
Pertama, perlu adanya perbaikan kaderisasi dan budaya politik yang sehat berdasarkan demokrasi dan meritokrasi, mulai dari kampus hingga tingkat nasional.
Kedua, penguatan pengawasan berbasis masyarakat sipil, dengan keterlibatan akademisi, diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam politik dan hukum.
Ketiga, menekankan pentingnya pengawasan yang kuat untuk melengkapi pemerintahan, serta peningkatan kualitas SDM dan teknologi agar Indonesia bisa bersaing di era digital.
Keempat, mencakup perwakilan di MPR sebagai solusi untuk kelemahan demokrasi langsung, pengendalian sistem digital, serta kebijakan affirmative action untuk akses ekonomi, reindustrialisasi, dan penguatan UMKM.
Kelima, percepatan transisi energi hijau dan regulasi anti-monopoli diusulkan untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi.(mcr8/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Kenny Kurnia Putra