Koordinator Lapangan (Korlap), Toni mengatakan, konflik agraria yang terjadi saat ini disebabkan oleh monopoli atas tanah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan. “Perampasan tanah besar-besaran itu membuat penyempitan lahan garapan petani, bahkan hilangnya tanah petani secara massif,” ujar Toni.
Kaum tani, kata dia, dibiarkan menjadi buruh tani di negerinya sendiri, sementara penguasa tanah, hanya diberikan kepada pertambangan dan perkebunan sawit skala besar. Pada akhirnya, para petani tertindas oleh perusahaan tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Salah satu contohnya, menurut massa yakni yang terjadi di Kecamatan Balaesang Tanjung, yang mana, aparat kepolisian dinilai melindungi perusahaan dari warga yang menolak adanya pertambangan. Hal itu, pula lah yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan ditangkapnya sejumlah warga. “Dalam kesempatan ini, kami juga menuntut 13 petani Balaesang Tanjung yang ditangkap harus dibebaskan. Juga meminta Polda Sulteng bertanggungjawab atas penembakan warga di Balaesang Tanjung,” ujarnya.
Setelah menyuarakan aspirasinya di depan Gedung DPRD, puluhan massa ini kemudian membubarkan diri dengan tertib, meski dibawah teriknya matahari. Tidak hanya berorasi, sejumlah demonstran juga membagi-bagikan selebaran pernyataan sikap mereka kepada para pengendara yang melintas di depan DPRD Sulteng.(agg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI-Polri Kejar Pelaku Perampasan Senpi di Puncak Jaya
Redaktur : Tim Redaksi