Sipon

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 06 Januari 2023 – 17:07 WIB
Kerabat melayat ke rumah istri aktivis HAM Widji Thukul, Dyah Sujirah alias Sipon, di Jagalan, Kecamatan Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (6/1/2023). (ANTARA/Aris Wasita)

jpnn.com - Tidak banyak yang mengenal nama Siti Dyah Sujirah.

Mungkin nama ‘’Sipon’’ lebih dikenal oleh beberapa kalangan.

BACA JUGA: Profil Gunawan Maryanto, Pemeran Wiji Thukul di Film Istirahatlah Kata-Kata

Apalagi kalau nama itu dikaitkan dengan Wiji Thukul, penyair-pejuang asal Solo yang sampai sekarang hilang tak tentu rimbanya.

Sipon, istri Wiji Thukul, meninggal dunia Kamis (5/1).

BACA JUGA: Fajar Merah Rilis Album Dia Ingin Jadi Peluru, Persembahan untuk Wiji Thukul

Tidak banyak yang didengar dari Sipon akhir-akhir ini. 

Dia hidup sebagai perempuan sederhana di kampungnya bersama anak dan kerabatnya.

BACA JUGA: Anak Wiji Thukul: Ibu Masih Sangat Baper

Akan tetapi, meninggalnya Sipon membangkitkan kembali kenangan akan Wiji Thukul, sang seniman yang pemberani.

Melalui puisi-puisinya yang sederhana tetapi tajam, Wiji Thukul tidak pernah lelah menyuarakan penderitaan rakyat kecil yang tertindas selama masa kekuasaan rezim Orde Baru.

Ketika penderitaan sudah makin memuncak dan gerakan menentang Orde Baru makin meluas, Wiji Thukul menghilang bersama beberapa aktivis gerakan.

Beda dengan para aktivis mahasiswa yang berpendidikan tinggi, Wiji Thukul hanya seorang penyair kampung yang kurus dan lusuh.

Akan tetapi, Wiji masuk dalam daftar ‘’orang-orang berbahaya’’ yang harus diringkus dan disingkirkan.

Maka, pada 10 Februari 1998 Wiji menghilang dari rumahnya.

Tidak ada seorang pun yang tahu ke mana dia pergi.

Belakangan diketahui bahwa Wiji menjadi korban penculikan dan penyekapan yang dilakukan terhadap para aktivis gerakan mahasiswa yang menentang Orde Baru.

Sebagian aktivis itu dibebaskan setelah disekap berbulan-bulan.

Sebagian lainnya, termasuk Wiji Thukul, dinyatakan hilang permanen.

Selama lebih dari satu dekade pasca-hilangnya Wiji Thukul, Sipon secara aktif bergerak menuntut keadilan.

Dia minta pemerintah untuk bertanggung jawab mengungkap kasus ini.

Sambil menghidupi keluarganya dengan menjadi penjahit, dia lakoni berbagai aksi bersama para pegiat demokrasi. Namun, upaya itu selalu membentur tembok.

Saat harapan mendapatkan jawaban ihwal pencarian suaminya hampir redup, dia sempat mendapatkan janji dari Joko Widodo saat menjadi calon presiden pada Pilpres 2014.

Jokowi saat itu menjanjikan akan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sipon pun giat mendukung Jokowi saat itu.

Sipon bahkan membuat kaus-kaus bersablon siluet wajah Jokowi beserta daftar alasan mengapa harus memilih Jokowi.

Setelah Jokowi terpilih ternyata janji itu hanya tinggal janji.

Setelah mengetahui Jokowi tidak menepati janji-janjinya, Sipon tak lagi menaruh simpati pada pemerintah.

Meskipun begitu, Sipon tak lelah merawat harapan agar Wiji Thukul ditemukan, hidup atau mati.

Kisah Wiji Thukul dan para aktivis yang hilang sudah dilupakan publik.

Kepergian mereka seolah dianggap sebagai tumbal yang tidak perlu dipertanyakan.

Pemerintah Jokowi juga sudah kehilangan selera untuk mengungkap kasus ini.

Apalagi ada kecurigaan bahwa otak pelaku penculikan dan penghilangan paksa yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu sekarang ada di barisan rezim Jokowi.

Upaya mengingatkan nasib orang-orang hilang ini dilakukan dilakukan melalui karya sastra dan buku.

Salah satunya adalah novel yang ditulis oleh wartawan-sastrawan Leila Salikha Chudori—lebih dikenal sebagai Leila S. Chudori—berjudul ‘’Laut Bercerita’’ (2017).

Novel fiksi-historikal ini bercerita mengenai aktivis mahasiswa bernama Biru Laut yang diculik karena aktivitas gerakannya di sebuah universitas di Yogyakarta.

Laut disekap, disiksa dengan setrum listrik dan dihajar dengan benda keras.

Matanya ditutup dan ditelungkupkan di atas balokan es batu dalam keadaan setengah telanjang. 

Dia mengalami siksaan ini berbulan-bulan.

Pada akhirnya Laut merasakan dirinya dibawa ke sebuah tempat yang dirasakannya di pinggiran laut.

Selanjutnya dia merasa telah dieksekusi dan mayatnya ditenggelamkan ke laut lepas.

Jejaknya tidak pernah lagi diketahui tenggelam dimakan binatang-binatang laut.

Sebuah kesaksian terhadap gerakan mahasiswa 1998 diterbitikan dalam buku baru berjudul ‘’Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999’’.

Buku ini memotret gerakan mahasiswa di Jakarta pada masa-masa menjelang reformasi 1998.

Aldera atau Aliansi Demokrasi Rakyat menjadi kelompok yang penting sebagai wadah gerakan mahasiswa menjelang reformasi.

Selain Aldera yang umumnya beranggotakan mahasiswa nasionalis dan kiri, ada juga kelompok KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang menampung gerakan mahasiswa yang berideologi Islam.

Buku ini merekam salah satu etape perlawanan terhadap rezim otoritarianisme Orde Baru pada awal 1990-an hingga kejatuhan Soeharto. Aldera memainkan peranan penting dalam interaksi perlawanan atas rezim.

Buku ini menceritakan gerakan pemuda progresif di dekade terakhir kekuasaan Orde Baru yang aktivitasnya bermula di awal 1990-an melalui gerakan pembelaan petani dan pemuda yang berujung pada perjuangan politik untuk mengakhiri otoritarianisme Orde Baru.

Pilihan bergerak bersama rakyat yang dimulai dengan membangun gerakan-gerakan perlawanan atas perampasan tanah di Jawa Barat, telah membangun solidaritas gerakan ini dan menjelma menjadi gerakan politik adiluhung sebagai pengontrol sekaligus penentang langsung kebijakan Soeharto.

Tentu saja represi pada para pegiatnya menjadi bagian tak terpisah dari dinamika gerakan ini.

Aldera membatasi diri bertransformasi menjadi gerakan politik kerakyatan yang tidak berubah menjadi partai politik.

Namun, pasca-Orde Baru sejumlah pegiatnya kemudian menjadi bagian penting dalam dinamika politik Indonesia.

Keberanian memang barang langka pada masa 1990-an.

Sejak kampus dibungkam oleh kebijakan normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK) pada 1978 dan Dewan Mahasiswa dibubarkan, mahasiswa Indonesia seperti ayam jago tanpa taji.

Keberhasilannya sebagai driving forces yang menjatuhkan Soekarno pada 1966, tinggal sebagai sebuah mitos atau nostalgia.

Bersamaan dengan kebijakan depolitisasi kampus, sebagai bagian rencana Orde Baru untuk menciptakan floating mass atau massa mengambang, mahasiswa pasca-1966 harus berjuang kembali mendapatkan otoritas politiknya sebagai juru bicara rakyat bagi Indonesia yang sedang berubah.

Sebuah negeri yang dulu termasuk new emerging forces yang anti-imperalisme dan kapitalisme, menjadi sebuah negeri yang siap membuka diri kepada pasar kapitalisme global.

Beberapa aktivis Aldera seperti Pius Lustrilanang dan Desmond J. Mahendra menjadi korban penculikan dan penyekapan.

Pius dan Desmond dilepaskan tetapi 13 orang korban penyekapan hilang tidak diketahui nasibnya. Di antara mereka termasuk Wiji Thukul.

Gerakan mahasiswa meluas keluar Jakarta.

Di Malang, Jawa Timur pada 29 Maret 1998 berdiri KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang diketuai oleh Fahri Hamzah.

Kota Malang sengaja dipilih sebagai pusat gerakan untuk menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa tidak hanya berpusat di Jakarta.

Fahri menuturkan upaya melengserkan Soeharto sejak awal memang merupakan gabungan usaha seluruh elemen gerakan.

Semua bahu-membahu dan berkumpul di rapat-rapat gelap di Jakarta. Para mahasiswa itu bergabung dengan para tokoh senior seperti Amien Rais dan tokoh-tokoh lainnya.

Tepat waktu malam sebelum mundurnya Soeharto, beredar isu akan ada pengerahan persenjataan lengkap ke Monumen Nasional (Monas).

Sebelumnya memang massa berencana mengepung Monas.

Dari salah satu informan, Fahri mengatakan ada yang membisikkan kabar ke Amien Rais yang saat itu menjabat Ketua PP Muhammadiyah bahwa akan ada pembantaian massal seperti di Tiananmen, China, jika massa tetap bergerak ke Monas.

Akhirnya setelah dilakukan diskusi, seluruh elemen gerakan membatalkan rencana mengepung Monas.

Karena setelah dilakukan pengecekan pada malam di tanggal 20 Mei 1998, memang ada pengerahan alat perang dan pemasangan kawat berduri di seluruh jalur menuju Monas.

Meski demikian, pembatalan acara pada 20 Mei 1998 bukan akhir dari gerakan reformasi.

Sebab, gerakan itu semakin menguat dan tuntutan agar Soeharto mundur tetap kencang.

Pada 21 Mei 1998, dalam kondisi yang serba terdesak Soeharto pun mengumumkan pengunduran diri.

Kini, gerakan mahasiswa itu sudah melampaui masa hampir 25 tahun.

Lanskap politik sudah berubah.

Para aktivis mahasiswa itu sekarang sudah menjadi politisi andal.

Rezim otoritarianisme Soeharto sudah berakhir dan lahirlah rezim pemerintahan demokratis yang sekarang dipimpin oleh Jokowi.

Berbagai perkembangan terakhir menunjukkan gejala yang makin nyata akan merosotnya kualitas demokrasi.

Keputusan Jokowi untuk memberlakukan Perppu Cipta Kerja memantik kontroversial luas.

Lawan-lawan politik Jokowi menyebutnya telah melakukan pelanggaran konstitusi, sehingga sudah memenuhi syarat untuk dimakzulkan.

Akan tetapi, rezim Jokowi menguasai parlemen sampai 80 persen.

Tidak ada lubang yang memungkinkan untuk melakukan pemakzulan melalui parlemen.

Harapan akan perubahan seperti biasanya jatuh ke pundak mahasiswa.

Akan tetapi, gerakan mahasiswa masih relatif senyap dan terfragmentasi.

Siklus perubahan besar yang dipelopori mahasiswa di Indonesia terjadi dalam selang waktu yang panjang.

Orde Lama bertahan 22 tahun.

Orde Baru bertahan 32 tahun.

Orde Reformasi sudah berlagsung 25 tahun.

Akankah mahasiswa membuat perubahan besar lagi? Itulah tantangannya.

Penggalan bagian terakhir puisi Wiji Thukul itu sangat populer, tetapi sudah jarang terdengar: Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan! (**)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler