jpnn.com, JAKARTA - Praktisi hukum Suhardi Somomoeljono mengatakan, sistem keamanan lingkungan (siskamling) merupakan cara efektif untuk mencegah teror seperti yang terjadi di Gereja St Lidwina, Sleman.
“Bangun pos-pos penjagaan di setiap wilayah RT-RW dengan dilengkapi CCTV. Selain siskamling konvensional, tidak bisa ditawar lagi harus dilakukan siskamling di media sosial (medsos),” ujar Suhardi, Jumat (16/2).
BACA JUGA: Ingat, Jangan Mudah Termakan Hoaks di Media Sosial
Siskamling medsos, lanjut Suhardi, bisa dilakukan dengan membentuk grup-grup messenger di setiap RT dan RW.
Nantinya dari informasi itulah diharapkan bisa terdeteksi berbagai hal yang terjadi di lingkungannya, terutama bila ada warga yang bertingkah aneh-aneh dalam berideologi dan beragama.
BACA JUGA: Mahasiswa Harus Pahami Wawasan Kebangsaan Â
“Ingat tahun 2018-2019 adalah tahun politik. Menjadi tugas kita semua untuk bersatu padu menyatukan warga untuk selalu waspada dengan berbagai gangguan yang mungkin terjadi, khususnya radikalisme dan terorisme,” imbuh Suhardi.
Ahli Hukum Pidana Universitas Matlaul Anwar Banten itu menambahkan, manusia baik secara individu maupun kelompok dapat teradikalisasi dalam motif beragam.
BACA JUGA: Medsos Larang Konten Video Berisi Sosok Gadungan Hasil Edit
Karena itu, deteksi dini ini sangat penting daripada harus menanggung akibat sampai terjadi teror.
“Kejadian aksi teror saat misa di Gereja St Lidwina adalah contoh konkret ada manusia secara pribadi melakukan tindakan sendiri dengan cara menyerang melukai umat yang notabene tengah beribadah. Ini sangat biadab, karena faktanya radikalisme adalah terorisme adalah perbuatan keji,” terang pria yang juga pakar deradikalisasi itu.
Dia menilai, peristiwa teror itu bisa saja dilakukan atas kesadaran sendiri disebabkan persepsi yang secara internal sudah terbentuk secara inklusif pada diri seseorang.
Sebaliknya, bisa juga disebabkan karena dorongan dari pihak lain yang motifnya sangat variatif.
Karena itu, dia mengimbau pihak penegak hukum jangan sampai kehilangan sumber informasi dari pelaku tersebut.
Selain itu, dalam menggali informasi dari pelaku, idealnya dari awal penyidik melibatkan peneliti dan psikologi sehingga dalam melihat sosok pelaku itu benar-benar utuh.
“Semua harus digali, baik psikologi pelaku maupun sejarah kenapa pelaku bisa teradikalisasi. Apalagi bisa menggali jaringan pelaku. Itu akan sangat efektif untuk mengantisipasi dan memetakan sel-sel radikalisme di Indonesia,” tegas Suhardi. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspadalah, Kampus Rawan Diserang Virus Radikalisme
Redaktur & Reporter : Ragil