Sistem Presidensial Tidak Sempurna, Ini Sejumlah Kelemahannya

Kamis, 22 April 2021 – 18:41 WIB
Gedung DPR RI. ILUSTRASI. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Dalam kajian ilmu politik, sistem presidensial dinyatakan punya sejumlah kelemahan. Salah satunya potensi deadlock atau kebuntuan dalam hubungan antara legislatif – eksekutif.

Demikian disampaikan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, dalam diskusi online bertajuk “Presidensial vs Parlementer” yang digelar DPP PSI, Rabu (21/4).

BACA JUGA: PSI Munculkan Wacana Memikir Ulang Sistem Presidensial Jadi Parlementer

Ramlan menukil penelitian Juan Linz dan Arturo Valenzuela yang dibukukan dalam The Failure of Presidential Democracy (1994). Karya tersebut menyebut sejumlah kelemahan sistem presidensial.

Pertama, sistem presidensial bisa menyebabkan deadlock (kebuntuan) dalam hubungan antara legislatif – eksekutif, karena baik anggota parlemen dan presiden sama-sama dipilih rakyat.

BACA JUGA: Bamsoet: PPHN Akan Memperkuat Sistem Presidensial

“Terjadi kebuntuan antara presiden dengan parlemen, jika tidak tersedia solusi demokratis. Kalau sistem parlementer ada solusinya: parlemen bisa memberi mosi tidak percaya kepada kabinet, atau perdana menteri membubarkan parlemen dan membuat Pemilu baru,” ujar Ketua KPU periode 2004 – 2007 itu.

Kedua, imbuhnya, masa jabatan tetap presiden dalam sistem presidensial juga jadi sumber masalah. Pasalnya, belajar dari pengalaman Amerika Serikat, jika presiden tidak dapat melanjutkan tugasnya maka yang akan menggantikan adalah wakil presiden yang belum tentu kompeten, karena paket presiden dan wakil presiden ditentukan oleh partai dan akan bekerja sama sampai masa jabatan habis.

BACA JUGA: Simplifikasi UU Penyelenggaraan Pemilu Perkuat Sistem Presidensial

Ada pun sistem presidensial, ucap Ramlan, ditengarai turut melahirkan “one man show”, karena presiden berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal itu merujuk pada kewenangan presiden yang relatif otonom untuk membuat dan menentukan kebijakannya sendiri. Akibatnya, kebijakan presiden sulit diprediksi.

“Eksekutif (presiden) yang kuat dan stabil, karena presiden berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, sehingga menimbulkan kecurigaan terjadinya personifikasi kekuasaan. Bahkan dikatakan, kekuasaan presiden cenderung tidak dapat diprediksi,” terang Ramlan.

Keempat, pemilihan presiden dalam sistem presidensial cenderung menerapkan “winner takes all”. Distribusi kekuasaan yang tidak merata itu menyisakan polarisasi dan ketegangan di tengah masyarakat.

“Karena yang menang dapat jabatan dan yang kalah tidak mendapat apa-apa, maka tidak ada peluang akan terjadinya perubahan politik sehingga menyimpan ketegangan dan polarisasi,” katanya.

Kelima, kelebihan sistem parlementer dari sistem presidensial terletak pada akuntabilitas pelaksanaan kebijakan publik yang lebih demokratis. Kelemahan presidensialisme yang terakhir adalah, karena kabinet dibentuk dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada presiden, maka tidak ada menteri yang independen (terpisah) dari presiden.

Studi Juan Linz dan Arturo Valenzuela ini kemudian dikritisi para ilmuwan politik lain. Pertama, bentuk sistem presidensial tidak homogen. Ada sejumlah variasi kelembagaan.

Di Indonesia, presidensialisme bukan fotokopi Amerika Serikat. Hal yang sama terjadi di sistem parlementar. Malaysia atau India bukan fotokopi yang di Inggris. Karena itu, kata Ramlan, presidensialisme dan parlementarisme tidak bisa dlihat secara dikotomik.

“Selanjutnya, presidensialisme akan menghasilkan divided government jika, pertama, ada banyak partai, seperti di indonesia. Kedua, pemilu legislatif dan eksekutif terpisah waktunya. Ketiga, lebih menggunakan sisitem pemilu proporsional ketimbang mayoritarianisme atau plurality,” kata Ramlan.

Fakta lain, secara statistik, kebutuntuan pemerintahan hanya terjadi di sepertiga dari seluruh kasus pemerintahan presidensialisme. Pada kenyataannya, deadlock juga terjadi di sistem parlementer. Yaitu, ketika tidak ada parpol yang menjadi mayoritas di parlemen. Akibatnya, kabinet mudah diberi mosi tidak percaya oleh parlemen. Pemerintahan buntu dan pemilu harus digelar lagi.

Hal lain, koalisi juga terjadi di sistem parlementar. Karena partai juga berkepentingan untuk mendapat kepercayaan dari pemilih. Caranya adalah dengan masuk kabinet, bukan menjadi oposisi.

“Di Indonesia, kebuntuan hubungan eksekutif – legislatif tidak pernah terjadi. Sejak Pemilu 1999, belum pernah ada satu RUU atau RAPBN yang ditolakDPR. Apalagi sekarang, sejak beberapa tahun terakhr, Baleg DPR dan dan Menkum HAM di awal menyepakati agenda legislatif. Dengan agenda legislatif, kemungkinan veto eksekutif tidak terjadi,” kata Ramlan.

Ramlan juga merespons pertanyaan moderator soal perlu atau tidaknya pemberlakuan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) pada Pemilu 2024 mendatang.

Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden masih perlu, namun tidak boleh dipatok tinggi untuk membuka ruang kompetisi yang lebih terbuka.

“Harus ada presidential threshold, tapi saya bilang jangan setinggi itu agar calonnya tidak hanya dua,” jawabnya.

Dalam pengantar diskusi, Plt Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti, mengajak publik untuk memikirkan ulang sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.

“Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang,” kata Dea .

PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga.

Sejumlah kelemahan sistem presiden telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler