JAKARTA - Sistem politik yang berkembang sejauh ini dinilai cenderung salah. Sebab, sistem ini tanpa disertai rambu-rambu yang tegas dan tidak terdapat ukuran-ukuran kualitatif yang jelas dalam memilih calon pemimpin. Akibatnya, yang terlahir adalah pola pikir pragmatis.
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (IKA UII) Pusat, Mahfud MD mengatakan hal tersebut menyambut rencana seminar nasional tentang Negarawan yang diselenggarakan IKA UII.
Menurutnya, jika sistem politik yang salah terus berlangsung dan semua orang tidak peduli akan hal itu, maka negara ini berjalan ke arah yang semakin kelam dan gelap. ”Sistem rekrutmen politik perlu dibicarakan ulang, kondisi bangsa ini sudah cukup terancam dari kegagalan. Kalau begini terus, tinggal menunggu waktu menuju kehancuran,” tegas Mahfud yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dalam konferensi pers Seminar Nasional memperingati Kebangkitan Nasional IKA UII Yogyakarta Wilayah Jakarta.
Oleh karena itu, lanjut Mahfud, membangun kesadaran akan kondisi kebangsaan dan kenegaraan adalah peran seluruh rakyat, khususnya adalah para alumni UII yang tersebar di beberapa institusi, baik swasta maupun negeri. “Semua orang itu wajib berpolitik. Politik itu fitrah. Sebab, dengan mengambil sikap ataupun tidak sama sekali, tetap saja itu adalah pilihan politik,” tuturnya.
Menurut Mahfud, politik ada dua level. Pertama, politik tingkat tinggi, yakni politik dalam tataran ide atau pemikiran. Kedua, politik tingkat rendah, yaitu politik dalam tataran politik praktis. "Nah, pada ranah politik tingkat tinggi inilah seminar ini dimaksudkan. Politik tingkat tinggi itulah yang akan dibicarakan dalam seminar ini nanti,” jelasnya.
Setidaknya, perlu percikan-percikan pemikiran tentang sosok negarawan dalam isu dan wacana di masyarakat dewasa ini. Sebab, masyarakat mulai kehilangan teladan tentang seorang negarawan. Padahal, dulu banyak tokoh-tokoh sekaliber Soekarrno, Natsir, Wahid Hasyim, atau Hamka yang layak diteladani sebagai negarawan.
“Mereka yang tidak mementingkan kepentingan jangka pendek, tapi lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya,” tegasnya, tentang karakter seorang negarawan.
Sayangnya, menurut Mahfud, saat ini ketika bicara tentang seorang pemimpin, misal calon presiden, kebanyakan dalam survei-survei yang dinilai adalah hanya terkait tiga hal, yakni popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. “Menurut saya itu sesat,” cetusnya.
Dia menjelaskan, seharusnya ada dua poin utama yang mesti dinilai ketika bicara tentang seorang pemimpin, yakni moralitas dan integritas, sebelum berbicara layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Namun demikian, tak berarti menampik tiga penilaian yang sering digunakan.
"Tiga penilaian itu merupakan faktor yang penting dan menentukan pula dalam ‘membaca pikiran’ masyarakat pada umumnya. Tapi, yang tak kalah pentingnya adalah moralitas dan elektabilitas," paparnya. (ris)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saksi Sebut Afriyani Tak Tolong Korban
Redaktur : Tim Redaksi