jpnn.com - SURABAYA - Icong (nama samaran) harus mengubur keinginannya untuk kembali bersekolah. Siswa sebuah SMK di Surabaya itu dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara karena telah membunuh kakeknya, Mulyadi, secara berencana.
Vonis tersebut dibacakan hakim tunggal Antonius Simbolon dalam sidang anak yang diselenggarakan secara terbuka di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kemarin (10/11). ''Terdakwa terbukti melanggar pasal 340 dan 363 KUHP,'' kata hakim dalam sidang tersebut. Menurut hakim, terdakwa terbukti melakukan dua tindak pidana sekaligus, yaitu pembunuhan berencana dan pencurian.
Hal yang memberatkan, korbannya adalah kakek korban. Sementara itu, yang meringankan, terdakwa masih anak-anak, mengakui, dan menyesali perbuatannya, serta belum pernah dihukum. Selain itu, korban yang diwakili pamannya telah memaafkan perbuatan Icong meski tetap meminta pelakunya diproses.
Vonis hakim itu sama persis dengan tuntutan jaksa. Bahkan, hakim terlihat mengekor pertimbangan hukum yang disimpulkan jaksa. Baik jeratan pasal yang terbukti maupun besaran pidana badan yang harus dijalani terdakwa.
Jaksa menuntut terdakwa dihukum sembilan tahun penjara. Tuntutan itu langsung diamini hakim dan dikabulkan. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur dua pasal tersebut. Hal itu terlihat dari cara terdakwa dalam menyiapkan balok kayu di kandang dekat rumah korban sebelum pembunuhan dilakukan pada 9 Oktober 2014.
Ketika melihat kakeknya muncul, terdakwa memukul korban dengan menggunakan balok kayu sekali. Korban menangkis, kemudian lari ke dalam rumah. Pelaku terus mengejar dan memukul korban kembali, tetapi dapat dihindari.
Nahas, korban terpeleset di dapur sehingga terdakwa dengan mudah memukuli kepala kakeknya tiga kali. Setelah melihat kakeknya tidak berdaya, terdakwa mengambil handphone sang kakek.
Sementara itu, Agung Nugraha, seseorang yang mendampingi terdakwa dari Surabaya Children Crisis Center (SCCC) menyebut vonis itu terlalu tinggi. Menurut dia, hakim memang memasukkan usia terdakwa yang masih belia sebagai hal yang meringankan. Tetapi pertimbangan tersebut tidak mengurangi hukuman dari tuntutan jaksa. ''Arti meringankan menjadi bagaimana, itu yang jadi pertanyaan,'' ujarnya.
Menurut dia, hakim seharusnya melakukan diversi sebelum melanjutkan persidangan. Menurut dia, tim penasihat hukum menyatakan keberatan karena tidak adanya diversi selama sidang. Tetapi, keberatan itu diabaikan.
Agung menambahkan, memang ancaman pasal 340 KUHP adalah pidana mati. Tetapi, dalam semua jeratan pasal, ada yang di bawah tujuh bulan. ''Seharusnya, diversi tetap dilakukan. Perkara nanti berhasil atau tidak, terserah. Tetapi, ini tidak ada sama sekali,'' ucapnya.
Padahal, lanjut Agung, dalam sistem peradilan anak, terdakwa yang masih di bawah umur harus didiversi. Bahkan, Mahkamah Agung mengeluarkan aturan khusus berupa perma, tetapi tidak dipakai hakim.
Diversi merupakan sebuah tindakan untuk mengalihkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. (eko/mas/ib)
BACA JUGA: Masih Di Bawah Umur, Tersangka Curanmor Tak Ditahan
BACA ARTIKEL LAINNYA... Buru Tersangka Sabu - Sabu, Polisi Tembak Warga
Redaktur : Tim Redaksi