Siswi Korban Asusila Video Syur Oknum Guru di Gorontalo Dikeluarkan dari Sekolah, Jejak Puan Protes

Senin, 30 September 2024 – 02:02 WIB
Direktur Lembaga Riset Hukum dan Gender (Leaders) Gorontalo Hijrah Lahaling (tengah) saat konferensi pers terkait kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum guru dan siswa, pada Minggu (29/9). (ANTARA/Debby Mano)

jpnn.com - Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Jejaring Aktivis Perempuan dan Anak (Jejak Puan) Provinsi Gorontalo meminta pihak sekolah tidak mengeluarkan siswi yang menjadi korban kekerasan seksual oknum guru.

Sebelumnya siswi MAN tersebut menjadi korban kekerasan seksual setelah video syur oknum guru dan murid di Gorontalo itu viral di media sosial.

BACA JUGA: Kasus Video Syur Oknum Guru & Siswi MAN Gorontalo, Jejak Puan Bela Kepentingan Korban

Ketua Bidang Riset Sahabat Anak, Perempuan, dan Keluarga (Salam Puan) Novi R. Usu di Gorontalo mengatakan dalam kasus yang melibatkan oknum guru dan siswi di Gorontalo, pihak sekolah memiliki tanggung jawab untuk tetap memberi dukungan penuh agar siswa yang jadi korban kembali melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut.

"Kami sangat menyayangkan mengapa pihak sekolah justru memutuskan untuk mengeluarkan siswa tersebut," katanya saat konferensi pers yang digelar oleh Jejak Puan, Minggu (29/9/2024).

BACA JUGA: Ini Peran Pelaku Pembubaran Paksa Diskusi di Kemang, Ada Cerita soal Pintu Belakang

Menurutnya sekolah sebagai rumah kedua dari siswi MAN itu, wajib memberikan perlindungan dan pendampingan karena korban masih dalam kategori anak di bawah umur dan tergolong kaum yang rentan mengalami kekerasan seksual.

Dia menuturkan bahwa filosofi pendidikan di Indonesia adalah berpihak pada peserta didik. Dia pun mempertanyakan apakah pihak sekolah sudah pernah menanyakan kepada korban mengenai keinginannya untuk tetap sekolah atau tidak?

BACA JUGA: Cerita Din Soal Sekelompok Orang Bubarkan Diskusi di Hotel Grand Kemang, Hmm...

"Saya sedang membayangkan saat ini anak tersebut sedang apa? siapa yang menemani dan jadi tempatnya bercerita? dukungan apa yang dia perlukan?" tutur Novi.

Sementara itu Direktur Woman Institute for Research and Empowerment of Gorontalo (Wire-G) Kusmawaty Matara juga menyoroti keputusan sekolah mengeluarkan korban dan berniat mencarikan sekolah lain yang bisa menerima anak tersebut.

"Apakah ada yang bisa menjamin korban ini tidak akan mengalami perundungan di sekolah barunya? di tempat yang baru dia justru akan merasa sendiri, tidak ada yang dikenalinya dan belum tentu lingkungan barunya akan berempati padanya," ujarnya.

Menurutnya dia, dukungan sekolah lama akan sangat membantu korban asusila untuk pulih dari trauma selama dilakukan dengan cara-cara yang fokus pada kepentingan korban.

Hal yang sama juga disuarakan oleh Direktur Lembaga Riset, Hukum dan Gender (Leaders) Gorontalo Hijrah Lahaling yang berharap sekolah menempuh berbagai cara untuk mendukung korban.

Dia mengatakan sekolah jangan merasa malu karena kasus ini dan menganggap bisa mencoreng nama baik lembaga atau institusi.

"Justru jika pihak sekolah memberi dukungan kepada anak ini, sekolah akan mendapat apresiasi. Siswa-siswa lainnya juga akan memiliki keberanian untuk bicara jika mengalami kekerasan di lingkungan sekolah karena mereka percaya bahwa pihak sekolah akan mendukungnya," katanya.

Salah satu bentuk dukungan pihak sekolah kepada siswa yang mengalami kekerasan seksual, yakni mengumpulkan seluruh siswa dan meminta mereka tetap berempati, tidak merundung dan membantu korban memulihkan kepercayaan diri hingga dapat menyelesaikan sekolah dengan baik.

Hukuman Berat Bagi Pelaku

Terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap siswa di Gorontalo, Jejak Puan mengatakan bahwa pelaku dapat dijerat dengan sejumlah Undang-undang (UU) karena statusnya sebagai pendidik.

Direktur Lembaga Riset Hukum dan Gender (Leaders) Gorontalo Hijrah Lahaling di Gorontalo, Minggu, mengatakan guru pelaku kekerasan seksual kepada siswanya dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak, Pasal 81 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), Pasal 82, dan Pasal 83.

Pada Pasal 81 Ayat 1 UU Perlindungan Anak, ketentuan pidana berlaku bagi setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Sementara pada Pasal 81 Ayat 3 dalam hal tindak pidana itu dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka hukumannya ditambah sepertiga dari ancaman pidana yaitu 15 tahun paling lama.

"Dapat juga dijerat dengan Pasal 82 karena membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul," kata dia.

Pidana lain yang bisa menjerat pelaku adalah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 4 Ayat 2 huruf c, di mana tindak kekerasan seksual juga meliputi persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak.

"Jeratan hukum lainnya yang dapat digunakan adalah Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terbaru yaitu Nomor 1 Tahun 2023. Bahkan juga ada Undang-undang guru dan dosen karena pelaku adalah seorang guru," katanya.

Menurut Hijrah, sanksi hukuman yang paling berat untuk pelaku ada dalam UU Perlindungan anak, yakni penjara paling lama 15 tahun dengan denda lima miliar rupiah.

"Modus pelaku bisa apa saja, tetapi intinya ada relasi kuasa di sana karena korbannya adalah anak atau siswa. Guru tersebut menyalahgunakan kewenangannya dan menciptakan modus asmara untuk memanipulasi anak," ujarnya.

Dia menegaskan alasan dasar suka sama suka tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum.

Hijrah mengingatkan bahwa semua pihak khususnya masyarakat dan penegak hukum, tidak bisa hanya melihat dari sisi adegan dalam video yang ramai tersebut, kemudian langsung menyimpulkan bahwa perbuatan asusila itu terjadi atas dasar suka sama suka.

"Seandainya pun korban yang menginginkan perbuatan itu, tetapi ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh oknum pendidik terhadap anak," ucapnya.

Hijrah juga mengingatkan, dalam Undang-undang Dasar 1945 yang tertinggi di antara peraturan lainnya, disebutkan di Pasal 28 B Ayat (2) bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan.

"Atas dasar itu, tidak benar jika anak yang menjadi korban justru dikeluarkan dari sekolah. Kami berharap pihak sekolah melakukan upaya maksimal untuk membantu dan memberi dukungan bagi korban," imbuhnya.(ant/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler