Kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja di Desa Ploso, Pacitan, Jawa Timur, menginspirasi Siti Kholifah. Bidan desa itu membuat kelas hamil untuk mengedukasi para remaja putri tentang pentingnya gizi sekaligus risiko hubungan seks di luar nikah.
SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta
SEORANG remaja putri yang baru duduk di bangku kelas 1 SMP mendatangi rumah Siti Kholifah. Dia muntah-muntah tak keruan. Siti pun langsung menduga bahwa remaja tersebut hamil. Bahkan, dia bisa mengira-ngira usia kehamilan remaja bernama samaran Partini itu.
"Saat itu, dia sudah hamil lima bulan," kata Siti saat ditemui di Balai Kartini, kemarin (17/12).
Siti Kholifah datang di Jakarta setelah terpilih menjadi wakil Jawa Timur dalam kontes Srikandi Award 2012 untuk menyambut Hari Ibu tingkat nasional.
Ketika Siti memberi tahu orang tua Partini, bapak Partini langsung naik darah. Dia tidak percaya anak gadisnya yang masih bau kencur itu sudah hamil. Siti lalu meyakinkan si bapak dengan tes USG.
"Hasilnya sesuai dugaan saya, dia sudah hamil lima bulan. Setelah tes itu, bapaknya baru percaya," kenang Siti.
Kasus Partini yang terjadi sekitar dua tahun lalu tersebut bukan sesuatu yang mengejutkan bagi Siti. Hampir setiap bulan dia menerima kabar adanya remaja putri yang hamil di desanya.
Bidan berusia 40 tahun itu mengakui, kasus KTD di Desa Ploso, Pacitan, Jawa Timur, cukup tinggi. Selama 20 tahun menjadi bidan desa di Pondok Bersalin Desa (Polindes) Ploso, dia kenyang menangani remaja SMP atau remaja dalam rentang usia 12"15 tahun yang berbadan dua.
"Bukan hanya angka KTD yang tinggi, pernikahan usia dini di desa saya juga paling banyak di Jawa Timur," paparnya.
Siti mengungkapkan, di Ploso, remaja putri 12 tahun sudah lazim berpacaran. Hampir setiap hari si pacar apel ke rumah si gadis ingusan itu. Bahkan, tak jarang si pacar sampai tidur di rumah gadis idamannya. Hal seperti itu dianggap biasa oleh warga.
"Ya gimana ndak hamil, wong setiap hari diapeli sampai nginep-nginep segala. Saya pernah curhat ke Pak Lurah, tapi nggak ada tindak lanjutnya," urai Siti.
Yang makin membuat Siti heran dan prihatin, orang tua pihak perempuan seperti membiarkan anaknya berpacaran kelewat batas. Akibatnya bisa ditebak, si remaja putri akhirnya hamil.
"Ironis, wong sejak awal pacaran mereka (orang tua) tahu dan seolah membiarkan pacar anaknya sampai menginap segala, kok pas anaknya hamil mereka nggak percaya. Bahkan kemudian bingung dan marah-marah," ujarnya.
Lantaran budaya pacaran yang permisif tersebut, Siti jadi terbiasa menerima kabar adanya remaja putri yang hamil di desanya. Bahkan, untuk jumlah kehamilan di desanya, separo di antara mereka pasti remaja putri yang hamil baru. Dan begitu mendapat kabar adanya remaja yang hamil tersebut, Siti bergegas menuju rumah si remaja.
"Biasanya orang tua dan anaknya amat malu dengan kondisi itu. Mereka lalu enggan memeriksakan kehamilan anaknya. Karena itu, saya ngalahi untuk mendatangi rumah mereka. Kalau ada lima remaja yang hamil bersamaan, ya saya datangi satu per satu mereka," ungkap bidan dari Nganjuk tersebut.
Menurut Siti, kehamilan pada usia belia cukup berisiko. Organ reproduksi mereka belum benar-benar siap menerima janin. Tidak hanya itu, pengetahuan yang minim akan gizi ibu hamil menjadi persoalan di desa tersebut.
"Masih banyak yang nggak paham soal gizi ibu hamil. Mereka umumnya kurus-kurus. Bahkan, ada yang sampai mengalami kurang energi kronis (KEK). Akibatnya, berat badan bayi waktu lahir rendah," ujarnya.
Sejumlah mitos yang berkembang di masyarakat Desa Ploso juga cukup menyulitkan penanganan perempuan hamil usia belia. Misalnya, perempuan hamil tidak boleh tidur siang. Mereka juga tidak boleh makan telur. "Katanya nanti amis, matanya jadi rabun," ucap Siti.
Selain itu, masyarakat setempat lebih percaya pada dukun daripada bidan atau dokter. Tentu saja mitos-mitos tersebut merugikan para perempuan hamil belia itu.
Prihatin atas kondisi masyarakat Desa Ploso yang masih "terbelakang" itu, Siti menggagas kelas hamil bagi perempuan desanya. Seluruh perempuan yang hamil diajari hal-hal yang terkait dengan kesehatan janin serta persiapan persalinan yang matang.
Tidak seperti kelas hamil yang dianjurkan pemerintah (dengan "murid" 10 ibu hamil), kelas hamil gagasan Siti mengundang semua ibu hamil di desanya. Karena itu, tak heran bila setiap pertemuan ada 25"30 ibu hamil yang datang. Di antaranya adalah para remaja korban KTD dan remaja yang nikah dini.
"Peserta kelas hamil ini tidak dibatasi usia kehamilan. Perempuan yang hamil muda semestinya ikut kelas ini biar cepat tahu cara menangani kandungannya. Apalagi bagi para remaja putri yang telanjur berbadan dua itu," tegas Siti.
Hanya, tidak mudah mengajak para remaja yang hamil untuk bergabung di kelas hamil. Ada yang malu aibnya diketahui banyak orang. Ada yang enggan dan sungkan bertemu ibu-ibu yang hamil normal.
Menghadapi kondisi itu, Siti tidak tinggal diam. Dia lalu mendatangi satu per satu calon ibu belia tersebut. Dia berusaha merayu agar mereka mau mengikuti kelas hamil. Usahanya tidak percuma. Kini seluruh remaja yang hamil di desanya secara rutin mau bergabung di kelas hamil binaannya.
Sebelum kelas dimulai, Siti biasanya memeriksa kehamilan setiap "murid"-nya. Termasuk cek HB (hemoglobin) dan gizi si murid. Khusus bagi remaja hamil usia belia, Siti memberikan perhatian ekstra. Dia perlu mengedukasi mereka mulai soal makanan, persiapan persalinan, hingga pasca melahirkan.
"Saya biasanya bilang kepada mereka betapa beratnya orang yang sedang hamil. Belum lagi bila anaknya lahir nanti. Tapi, saya juga mengatakan, mereka harus bisa merawat anaknya dengan baik agar kelak anaknya jadi orang sukses," papar Siti.
Di kelas hamil itu, dia juga mengajak serta para suami dan keluarga ibu hamil. Mereka mengikuti sesi khusus agar tahu cara menjaga kehamilan serta kesehatan ibu dan janinnya.
"Supaya mereka paham bahwa ibu hamil itu susah. Jadi, mereka tidak boleh menyuruh istri atau anaknya yang tengah hamil untuk kerja berat."
Dua tahun berjalan, kelas hamil yang digagas Siti menunjukkan perkembangan signifikan. Misalnya, kini jumlah ibu hamil KEK berkurang. Begitu juga kelahiran BBLR (berat bayi lahir rendah) yang menurun drastis.
Berkat kerja keras dan perjuangannya mendidik ibu hamil di desanya tersebut, Siti menjadi nomine Srikandi Award 2012. Penghargaan itu diadakan untuk mengapresiasi para perempuan hebat pada setiap peringatan Hari Ibu. "Saya sangat bangga dikirim ke Jakarta. Semoga kalau saya menang, hadiahnya bisa bermanfaat bagi para ibu hamil di desa saya," katanya.
Siti tergerak menjadi bidan karena terdorong kondisi keluarga. Dia tumbuh dalam keluarga besar yang miskin. Saudara kandungnya tujuh orang. Dari delapan anak itu hanya dirinya yang mampu sekolah hingga SMA.
Lulus SMP, Siti melanjutkan ke Sekolah Program Bidan (P2B) di Celaket, Malang. Dia memilih menjadi bidan karena melihat riwayat persalinan ibunya yang buruk. Sang ibu empat kali keguguran. Saat melahirkan anak terakhir, dia hampir meninggal. Itu semua karena minimnya pengetahuan tentang gizi dan persalinan bagi ibu hamil.
Berkat tekad kuatnya untuk menjadi bidan, Siti berhasil lulus dengan nilai terbaik pada 1992. Dua bulan setelah lulus, Siti diangkat menjadi PNS (pegawai negeri sipil). Namun, dia tidak mau ditempatkan di kota asalnya. "Saya pilih Pacitan. Saya tertantang dengan kondisi masyarakat di daerah itu," ujarnya.
Awal menjadi bidan di Ploso, Pacitan, Siti sudah dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya, profesinya sebagai bidan tidak diakui masyarakat setempat. Masyarakat lebih percaya kepada dukun bayi untuk proses persalinan.
Sikap kepada Siti berubah ketika dia menangani seorang ibu yang hampir meninggal saat melahirkan. Siti pun bekerja keras untuk menyelamatkan bayi dan ibunya.
"Alhamdulillah, keduanya selamat. Sejak itu masyarakat mulai percaya pada saya. Karena itu, sekalipun gajinya tidak besar, bahkan sering gratis, saya tidak akan meninggalkan desa itu. Saya merasa lebih ayem tinggal di sini," tandasnya. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkena Pseudoaneurisma Sinus Sphenoid, Eka Sering Mimisan Ekstrem
Redaktur : Tim Redaksi