jpnn.com, JAKARTA - Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) terkejut pada keputusan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Seperti diketahui, Hakim konstitusi Arief Hidayat dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Senin (31/10) lalu menyampaikan menteri atau pejabat setingkat menteri yang maju jadi calon presiden atau calon wakil presiden tak perlu mundur dari jabatannya.
BACA JUGA: Sekjen SKI Sebut Keterbukaan NasDem-Demokrat-PKS sebagai Tradisi Politik Baru di Indonesia
Mereka hanya perlu mendapatkan izin cuti dari presiden untuk ’nyapres’.
Sekjen Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), Raharja Waluya Jati menilai MK seolah-olah menafikan pertimbangan etika kepemimpinan dalam memutuskan hal tersebut.
BACA JUGA: SKI: Santri Masa Kini Harus Mengambil Peran
”MK menyatakan pengunduran diri dari jabatan sebagai syarat bagi pejabat negara yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres dinilai tak lagi relevan. Hal tersebut merupakan kemunduran bagi setiap upaya masyarakat untuk mewujudkan kepemimpinan nasional yang jujur dan berintegritas,” ujar Jati, di Jakarta, Rabu (2/11).
Menurut Jati, terlepas dari berbagai pertimbangan yuridisnya, keputusan MK tersebut mengesampingkan perlunya seorang pemimpin Indonesia menjaga nilai-nilai keutamaan dalam masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan kepemimpinan.
BACA JUGA: Marak Gagal Ginjal Akut Anak, SKI Minta Pemerintah Audit Pengawasan Obat
MK, kata Jati, seharusnya tidak hanya menjadi mahkamah yang berfokus pada segi-segi teknis dalam hukum konstitusi, tetapi lebih dari itu dapat menjadi sumber kebenaran, kejujuran dan keadilan bagi masyarakat.
”Adalah hal yang aneh jika seseorang yang berkontestasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dianggap tak perlu lagi menunjukkan integritas melalui pengunduran diri dari jabatan publik yang dapat menimbulkan ’conflict of interest’,” lanjutnya.
Jati menilai menteri yang masih menjabat, meskipun dalam status cuti, tetap memiliki kekuasaan dan pengaruh kuat kepada staf-stafnya di kementerian.
Hal tersebut membuka peluang bagi penyalahgunaan jabatan, khususnya terkait dengan penggunaan sumberdaya kementerian untuk kepentingan pertarungan elektoral.
”Seyogyanya terdapat upaya hukum untuk menganulir keputusan MK tersebut. Namun, jika perubahan tersebut sulit diwujudkan, lembaga penyelenggara pemilu dan masyarakat harus membuat mekanisme yang efektif untuk mengawasi agar potensi conflict of interest itu tak berubah menjadi celah kecurangan pemilu,” jelas Jati. (mcr10/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul