jpnn.com, JAKARTA - Rencana pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk pelumas otomotif oleh pemerintah mendapat reaksi keras Perhimpunan Distributor dan Importir Pelumas Indonesia (PERDIPPI).
Terkait SNI Wajib pelumas, PERDIPPI menyatakan ada sejumlah alasan dari dasar penerbitan aturan yang bertentangan dengan fakta di lapangan.
BACA JUGA: SNI Wajib Pelumas Hingga Akhir 2018, Ini Sanksi Jika Bandel
“Ada sejumlah alasan yang dijadikan dasar dari penerbitan aturan SNI bertentangan dengan fakta di lapangan. Sehingga, alasan-alasan itu tidak berdasar atau bahkan bertentangan dengan realitas yang ada,” buka Ketua Umum PERDIPPI Paul Toar, Jumat (24/8).
Menurut Paul, jika alasan penerbitan SNI Wajib didasarkan bahwa pelumas impor tidak bisa dijamin kualitasnya, hal itu tentu tidak benar.
BACA JUGA: Pertama, Shell Rilis Pelumas Berstandar SNI
Pasalnya, kata Paul, produksi pelumas impor telah melalui proses pengujian laboratorium Lemigas dengan 14 parameter uji kimia fisika, sebelum diizinkan beredar.
“Mereka adalah minyak pelumas produksi berbagai perusahaan minyak raksasa dunia yang diakui kualitas produk dan kredibilitasnya seperti Shell, Exxonmobil, Mobil1, Total, Castrol dan seterusnya. Kualitasnya sudah dijamin di negara asal masing-masing,” tegas Paul.
Kemudian, tudingan yang dijadikan alasan kedua penerbitan SNI Wajib yakni pasar pelumas nasional dikuasai oleh impor. "Ini juga tidak beralasan," lanjut Paul lagi.
Fakta menunjukan, sampai saat ini perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Pertamina masih menguasai 70% lebih market share minyak pelumas di Indonesia.
Sedangkan alasan ketiga, melalui SNI Wajib maka negara memproteksi pelumas dalam negeri dari pelumas impor ini juga terbukti salah. Fakta berbicara, bahan baku minyak pelumas produksi dalam negeri ternyata juga diimpor.
Di samping itu, PERDIPPI juga menyinggung biaya pengurusan SNI Wajib yang akan berkisar Rp 500.000.000,- /SKU per 4 tahun jelas memberatkan dan berpotensi mematikan produsen dalam negeri yang berskala kecil, hingga imbas akhirnya ke daya beli konsumen. (mg8/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha