Soal Aturan Bebas Visa Kunjungan, BPK Sebut Negara Berpotensi Kehilangan Triliunan Rupiah

Kamis, 13 Juni 2024 – 10:49 WIB
BPK RI menyatakan bahwa Indonesia berpotensi kehilangan PNBP sebesar Rp3,02 triliun pertahun jika kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) kembali diterapkan. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyatakan bahwa Indonesia berpotensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 3,02 triliun per tahun jika kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) kembali diterapkan bagi 169 negara.

Anggota BPK RI, Nyoman Adhi Suryadnyana mengungkapkan hal itu merupakan temuan hasil pemeriksaan BPK RI atas Intensifikasi dan Ekstensifikasi PNBP Tahun Anggaran 2020 sampai Semester I 2022 di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). 

BACA JUGA: WTP Bisa Dibeli, Audit BPK Sulit Dipercaya

”Terkait itu, BPK telah merekomendasikan Menteri Hukum dan HAM untuk meninjau ulang rencana pemberlakuan kembali kebijakan BVK dengan melakukan koordinasi dengan instansi terkait,” kata Nyoman Adhi dalam keterangannya, Rabu (12/6).

Nyoman Adhi menyampaikan Kemenkumham menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan menerbitkan Surat Keputusan Menkumham Nomor M.HH-01.GR.01.07 Tahun 2023 tertanggal 7 Juni 2023.

BACA JUGA: Hasil Audit BPKP, Kerugian Negara di Kasus Korupsi Timah Rp 300 Triliun

SK Menkumham tersebut mengatur tentang Penghentian Sementara Bebas Visa Kunjungan untuk Negara, Pemerintah Wilayah Administratif Khusus Suatu Negara dan Entitas Tertentu.

Menurutnya, hasil pemantauan BPK atas tindak lanjut dari terbitnya kebijakan penghentian sementara BVK itu menunjukkan kebijakan tersebut berdampak terhadap meningkatnya realisasi PNBP Kemenkumham Tahun Anggaran 2023.

”Dari target sebesar Rp 4,21 triliun, dapat direalisasikan sebesar Rp 9,70 triliun, atau 230 persen dari target. Kemudian, sumbangan PNBP dari sektor keimigrasian meningkat signifikan pada2023. Dari target Rp 2,33 triliun dapat direalisasikan sebesar Rp 7,61 triliun atau 327,03 persen dari target,” lanjutnya.

Nyoman Adhi mengatakan peningkatan PNBP tersebut tentu berkorelasi dengan peningkatan jumlah kunjungan Warga Negara Asing (WNA) ke Indonesia.

Berdasarkan data yang ada, lanjut Nyoman Adhi, total kunjungan WNA pada 2021 sebanyak 1.174.796 orang, yang turun karena pandemi Covid-19, lalu kembali meningkat ke angka 4.634.348 WNA pada 2022.

“Bahkan meningkat signifikansebanyak 10.632.034 WNA pada 2023. Dan, peningkatan itu terjadi ketika kebijakan penghentian sementara BVK masih berlaku,” katanya.

Dia menjelaskan BVK diterapkan pemerintah sejak 1983 dan telah mengalami beberapa kali perubahan. 

Terakhir, kebijakan itu ditetapkan lewat Perpres Nomor 21 Tahun 2016 yang berisi penetapan 169 negara dibebaskan dari kewajiban memiliki visa kunjungan untuk masuk ke wilayah Indonesia. 

”Dari 169 negara itu, hanya 35 negara yang juga memberikan BVK bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan bepergian ke negaranya. Artinya, ada asas timbal balik,” ungkap Nyoman Adhi.

Menurut Nyoman Adhi, Perpres Nomor 21 Tahun 2016 tidak diprakarsai oleh instansi yang berwenang dan tidak bersifat mendesak dan tidak memenuhi asas timbal balik. 

Dampaknya, lanjut Nyoman Adhi, pada 2017-2020 jumlah kunjungan WNA dari negara subjek BVK yang tidak menerapkan asas timbal balik terus meningkat dengan total kunjungan mencapai 22.272.040 WNA.

“Hanya saja, sekalipun jumlah kunjungan WNA meningkat, negara justru kehilangan PNBP karena penerapan BVK,” ujarnya.

Nyoman Adhi mengatakan, jika menggunakan tarif VKSK yang berlaku yakni Rp 500 ribu, negara kehilangan penerimaan dari layanan visa kunjungan saat kedatangan minimal Rp 11,13 triliun atau Rp3,02 triliun pertahun.(mcr8/jpnn)


Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler