jpnn.com - JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang calon tunggal dinilai berimplikasi terhadap aturan terkait sengketa hasil pemilihan kepala daerah nantinya.
Pasalnya, undang-undang hanya mengatur pihak yang berhak mengajukan sengketa adalah peserta pemilu, sementara ketika masyarakat yang memilih 'tidak setuju' terhadap calon tunggal ingin menggugat hasil pemilihan, belum mempunyai saluran hukum yang jelas. Karena itu, perlu terobosan hukum, paling tidak meluaskan subjek pemohon dalam undang-undang.
BACA JUGA: KPU Harus Ujicobakan Model Surat Suara untuk Calon Tunggal
"Dalam undang-undang, subyek hukum yang berhak mengajukan gugatan adalah peserta pemilu. Jadi saya kira untuk sengketa memang harus ada pengaturan pada level undang-undang, untuk meluaskan subyek pemohon," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, Minggu (11/10).
Titi mengusulkan, subjek pemohon dapat diperluas sehingga tidak hanya calon tunggal yang dapat menggugat hasil pilkada. Namun juga bisa dilakukan pemantau pemilu yang telah terakreditasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
BACA JUGA: Begini Cara Ahok Menanggapi ketika Disarankan Adhyaksa Masuk Islam
Selain pemantau, Titi menilai masyarakat yang memilih "menolak" calon tunggal, juga dapat mengajukan gugatan. Hanya saja perlu dirinci lebih jauh batasannya. Karena masyarakat jumlahnya sangat banyak.
"Kalau masyarakat yang menolak, ini juga harus diatur rinci batasannya, masyarakat yang mana. Kan masyarakat ini banyak, jumlahnya ratusan ribu. Ini yang menurut saya ranah atau mediumnya bukan KPU, tapi di level undang-undang," ujar Titi.(gir/jpnn)
BACA JUGA: Waduh,Adhyaksa Dault Maju di Pilkada Gubernur DKI, Ahok Malah Bilang Begini....
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepala Daerah Diminta Sosialisasikan Netralitas PNS
Redaktur : Tim Redaksi