Soal Kemasan Rokok Polos, Pemerintah Dinilai Bakal Kesulitan Mengawasi & Identifikasi Produk

Senin, 11 November 2024 – 20:50 WIB
Rokok polos (ilustrasi). Foto: Dok. HBC

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengatakan berdasarkan hasil kajian INDEF, dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek bisa mencapai Rp308 triliun.

Menurut Andry, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat.

BACA JUGA: Kebijakan Kemasan Polos Dinilai Sebagai Upaya Diskriminatif terhadap Merek Dagang Rokok Elektronik

Tanpa merek dan indentitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran.

“Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk,” ujarnya dalam diskusi 'Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru', Selasa, (5/11).

BACA JUGA: Dukung Pembangunan Infrastruktur & Perumahan dengan Semen Hijau, SIG Ajak Semua Pihak Bersinergi

Selain itu, Andry mengungkapkan dari sisi penerimaan negara, ada potensi hilangnya Rp160,6 triliun atau sekitar 7% dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan, dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai.

Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.

BACA JUGA: Bersama 3 Menteri, Dirut BTN Bahas Solusi Pencapaian Program 3 Juta Rumah

Pasalnya, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Sebelum pandemi COVID-19, industri ini menyumbang hingga 6,9% terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.

Berdasarkan data INDEF, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6% dari total pekerja akan terdampak langsung oleh regulasi ini.

“Pada 2019, industri ini menyerap 32% dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak,” jelasnya.

Dia juga menekankan perlunya diskusi lintas kementerian dalam menentukan kebijakan terkait industri hasil tembakau, mengingat dampaknya yang menyeluruh.

Menurutnya, kebijakan ini bukan hanya urusan Kementerian Keuangan atau Kementerian Kesehatan saja, tapi juga Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Ketenagakerjaan yang seharusnya ikut dilibatkan.

Di samping itu, ketentuan zonasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dalam PP 28/2024 juga dinilai akan memukul pelaku usaha ritel yang sebelumnya sudah beroperasi di area tersebut.

“Kebijakan zonasi ini perlu dipertimbangkan ulang untuk menjaga keseimbangan antara aturan kesehatan dan keberlangsungan usaha,” tegasnya.

Di sisi lain, Rancangan Permenkes yang mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pun kian dipandang bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia dan merupakan ancaman bagi industri hasil tembakau nasional.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler