jpnn.com, JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud MD menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 4 Desember 2015 meminta agar satelit Kemenhan untuk slot orbit 123 derajat Bujur Timur bisa diselamatkan tanpa melanggar aturan.
"Presiden pada 4 Desember 2015 mengarahkan agar slot orbit diselamatkan tanpa melanggar aturan, tetapi kontrak sudah dilakukan 1 Desember 2015," tulisnya di akun Twitter miliknya @mohmahfudmd, Rabu (19/1).
BACA JUGA: Perbuatan KH Bikin Seluruh Orang Tua Naik Pitam, Terima Kasih Polisi
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan pada 13 Oktober 2017, presiden menerbitkan surat yang meminta Kemenko Polhukam menyelesaikan persoalan satelit orbit.
"13 Oktober 2017 ada surat lagi arahan presiden agar Menko Polhukam menyelesaikan satelit orbit yang saat itu diketahui bermasalah," beber Mahfud.
BACA JUGA: Mahfud MD Sebaiknya Segera Ungkap Nama Menteri yang Palak Dirjen
Pria kelahiran Jawa Timur itu pun merasa aneh ketika ada anggapan Menko Polhukam lepas tangan dalam kemelut satelit Kemenhan.
Mahfud mengaku masih mengurusi kasus hukum berkaitan dengan kemelut satelit Kemenhan pada 2020.
BACA JUGA: Berita Duka, Komikus Senior Meninggal Dunia Karena Pneumonia
Terutama ketika pemerintah berhadapan dengan perusahaan operator satelit Navayo di Arbitrase Singapura.
"Saya justru turun tangan karena pada 2020, Navayo masih menggugat pemerintah meski sejak 2017 presiden sudah mengarahkan agar diselesaikan menurut aturan," beber Mahfud.
Kemelut satelit Kemenhan terjadi pada 2015 berkaitan dengan pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 derajat Bujur Timur.
Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.
Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Kemenhan kemudian menyewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015.
Kemenhan juga menekan kontrak dengan perusahaan operator satelit Navayo pada 2015.
Namun, anggaran untuk proyek tersebut belum tersedia kala itu.
Arbitrase di London memutuskan Indonesia harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp 515 miliar.
Selanjutnya, Arbitrase Singapura juga memutuskan Indonesia harus membayar Rp 314 miliar kepada Navayo. (ast/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berita Duka, Kasi Pemerintahan Desa Silangjana Tewas, Kondisinya Mengenaskan
Redaktur : Rasyid Ridha
Reporter : Aristo Setiawan