jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid menyebutkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang dalam penetapannya sebagai RUU inisiatif DPR, ternyata mendapatkan penyikapan kritis dan bahkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat.
“Catatan-catatan Fraksi PKS saat rapat di Baleg agar TAP MPRS Nomor XXV/1966 dimasukkan dalam konsiderans, dan agar dicabutlah Pasal yang menyebutkan Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan dan lain-lainnya dari RUU HIP, ternyata tidak diakomodasi,” ucap Hidayat Nur Wahid dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (15/6/2020).
BACA JUGA: Tentang RUU HIP, PKS: Ini Bukti Tanggung Jawab Bersama Jaga Pancasila
Atas dasar itu, menurut Hidayat, Fraksi PKS pada saat Rapat Paripurna dengan tegas menyatakan menolak dengan catatan terhadap RUU HIP tersebut.
Belakangan memang Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pengusul awal RUU itu akhirnya berubah dan setuju memasukkan TAP MPRS Nomor XXV/1996 yang menetapkan larangan komunisme sebagai konsiderans dalam RUU HIP dan menghapus Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) yang memunculkan kembali istilah Pancasila Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
BACA JUGA: MUI Sebut RUU HIP Mengubah Pancasila jadi Ekasila
Menurut Hidayat yang akrab disapa HNW, dengan perubahan sikap PDIP dan setuju dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV/1966 soal PKI sebagai Partai terlarang, dan larangan penyebaran dan pengajaran komunisme ke dalam konsiderans mengingat RUU HIP, maka semua fraksi di DPR secara resmi dan terbuka sepakat untuk masih tetap berlakunya ketentuan hukum bahwa PKI adalah Partai terlarang, dan juga larangan penyebaran dan pengajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme.
“Dan dengan PDIP menerima masuknya TAP MPRS Nomor XXV/1966 dalam konsiderans RUU HIP, maka tidak ada lagi Fraksi di DPR yang menolak dimasukkannya TAP MPRS No XXV/1966 ke dalam RUU HIP. Tetapi Publik sudah menyikapi sangat kritis terhadap RUU HIP ini, bukan lagi hanya soal tak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS No XXV/1966, juga “kecolongan” penyebutan Trisila dan Ekasila, tetapi masalah-masalah dalam RUU HIP ini mereka dapatkan tersebar di beberapa pasal. Yakni seperti yang ada Pasal 4, 5, 6 dan 8 RUU itu,” ujar HNW.
BACA JUGA: Ratusan Kapal Nelayan Kepung Kapal Perang TNI AL, Ada Apa?
HNW menuturkan bahwa Baleg DPR RI seharusnya secara demokratis memperhatikan suara rakyat ini. Sehingga kalaupun RUU HIP itu tetap akan dibahas maka itu dalam rangka melaksanakan aspirasi Rakyat.
Selain itu, Baleg juga perlu melakukan perombakan yang mendasar dalam batang tubuh maupun naskah akademiknya.
“Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila/Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar terjabarkan dalam norma yang ada dalam batang tubuh RUU itu,” ujarnya.
Menurut HNW, hal ini sejalan dengan aspirasi dan penolakan/kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI/Polri, para Pakar dan berbagai Ormas atau kelompok-kelompok masyarakat yang menolak RUU itu.
Selain MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, Para Pakar, ICMI, bahkan Purnawirawan TNI/Polri dan kelompok-kelompok masyarakat lain juga menolak secara terbuka RUU HIP ini, antara lain karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS No XXV/1966.
Karena TAP MPRS itu masih berlaku, relevan dan diyakini diperlukan dan akan membentengi Pancasila dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Apalagi dengan ideologi komunisme sudah dua kali terjadi pemberontakan terhadap Negara Indonesia serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila yang menjadi Trisila dan Ekasila.
“Juga catatan kritis lainnya yang menilai bahwa RUU HIP seperti ini justru men-downgrade Pancasila yang sebenarnya, yaitu Pancasila 18 Agustus 1945 yang ada dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan oleh Baleg DPRRI,” tegasnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai bahwa ketika FPDIP sebagai pengusul awal RUU tersebut berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya, serta penghapusan pasal 7 soal Trisila dan Ekasila, maka rasionalnya, naskah akademik dan draf RUU ini juga perlu dibuat ulang, dan diubah secara mendasar.
Menurut HNW, karena adanya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, yang tentunya juga berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka seharusnyalah bila RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg, dan tidak malah dilanjutkan pembahasannya.
“Oleh karena itu, perlu disiapkan ulang naskah akademiknya, dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan sesuai dengan perkembangan sikap partai pengusul. Juga sesuai dengan kritik dan saran dari rakyat, pakar, purnawirawan TNI/Polri, ormas dan lain-lainnya,” tambahnya.
HNW menjelaskan dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan penolakan masyarakat, saat Baleg merevisi naskah akademik ini, maka pengusul dari Baleg juga dapat mempertimbangkan ulang apakah RUU ini memang perlu dipaksakan untuk dilanjutkan dibahas dan disahkan, atau malah dihentikan saja. Toh penjabaran dan haluan ideologi Pancasila sudah disepakati, dan itu ada dalam Pembukaan UUD dan dalam Bab/pasal/ayat-ayat UUD NRI 1945.
Dia mengingatkan ada problem ketatanegaraan apabila RUU HIP ini dipaksakan untuk dilanjutkan dan disahkan. Pancasila adalah grundnorm (norma dasar) yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilainya sebagai norma dasar memang bersifat umum tetapi yang disepakati sebagai kompromi oleh para Founding Fathers.
Janganlah Pancasila didowngrade melalui UU kontroversial seperti ini. Tetapi apabila mau dibuat penjabaran lagi, maka seharusnya dilakukan di Batang Tubuh UUD 1945, melalui amendemen lagi terhadap UUD, bukan diatur dalam UU, apalagi yang kontroversial seperti RUU HIP ini.
Apabila ideologi Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD itu diatur dalam UU khusus seperti RUU HIP, maka bagaimana bila nanti UU itu diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945?
“Jadi, ini seakan lompat, dari Pancasila dalam pembukaan ke pengaturan dalam UU. Itulah mengapa masyarakat menolak RUU HIP ini, yang selain kesannya melompat dari Pembukaan ke UU dengan melangkahi UUD, juga mengaburkan Pancasila dengan penyebutan Trisila/Ekasila, itu semuanya seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu,” ujarnya.(jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich