Soal Status Berhala, Kemendagri Tunggu Putusan MK

Kamis, 14 Juni 2012 – 01:04 WIB

JAKARTA - Pascapembatalan Peraturan Mendagri (Permendagri) Nomor 44 Tahun 2011 tentang status kepemilikan Jambi atas Pulau Berhala oleh Mahkamah Agung (MA), Kementrian Dalam Negeri tak akan buru-buru mengeluarkan keputusan baru. Terlebih lagi, kini status kepemilikan Pulau Berhala yang disengketakan Provinsi Kepri dan Jambi bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Kepala Biro Hukum Kemendagri, Zuhdan Arif, mengungkapkan bahwa pihaknya masih menunggu putusan MK atas permohonan uji materi UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga yang diajukan Pemerintah Provinsi Jambi. Menurut Zuhdan, sikap menunggu itu agar Mendagri memiliki dasar kuat untuk membuat keputusan tentang status Berhala.

"Jadi kita menunggu putusan MK terlebih dulu. Putusan MK kan final," kata Zuhdan kepada JPNN di gedung  MK usai persidangan uji materi UU Nomor 31 Tahun 2003, Rabu (13/6).

Menurutnya, sebenarnya Permendagri yang akhirnya dibatalkan MK itu dasarnya juga kuat. Sebab mengacu UU Pemda maka perselisihan kewenangan antarprovinsi diputus oleh Mendagri. "Tapi koq jadi panjang begini, ya kita tunggu putusan MK saja," sambung birokrat yang juga guru besar ilmu hukum itu.

Pada persidangan yang digelar di MK kemarin, Ketentuan yang diuji adalah Pasal 5 ayat (1) huruf c, yang menyebut wilayah Kabupaten Lingga di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Berhala dan Laut Bangka. Agenda persidangan yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD itu adalah mendengarkan saksi ahli dan saksi fakta yang diajukan Pemprov Kepri sebagai pihak terkait. Saksi ahli yang dihadirkan adalah Profesor HAS Natabaya dan Profesor Guntur Hamzah.

Natabaya yang mendapat kesempatan memberikan kesaksian, menegaskan bahwa persoalan Pulau Berhala bukan karena adanya pertentangan dengan UUD 1945. Karenanya, Natabaya berpendapat bahwa sebenarnya sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) tentang status kepemilikan Berhala.

Mantan hakim MK itu justru menilai Peraturan Mendagri (Permendagri) Nomor 44 tahun 2011 tentang penetapan Pulau Berhala sebagai milik Jambi adalah kesalahan fatal. Sebab menurutnya, jika sengketa Pulau Berhala diakibatkan oleh konflik antara UU maka semestinya penyelesaiannya bukan oleh Mendagri. "Seharusnya ini Menteri Kehakiman," katanya.

Beruntung, kata Natabaya, Mahkamah Agung sesuai putusan bernomor 49 P/HUM/2011 tanggal 19 Desember 2011 telah membatalkan Peraturan Mendagri Nomor 44 Tahun 2011 yang memutuskan Berhala menjadi milik Jambi. "Jadi sebenarnya masalah sudah selesai dengan putusan MA itu. Itu sudah keputusan tertinggi dan memperjelas status Berhala," katanya.

Hal senada juga disampaikan Profesor Guntur Hamzah. Pakar ilmu administrasi pemerintahan dari Universitas Hasanuddin, Makassar itu mengatakan, putusan MA atas Berhala bukan hanya memperjelas dari sisi hukum formil tetapi juga secara substantif. "Putusan MA itu merupakan penjelasan dari ketidakpastian," ucapnya.

Dipaparkannya, klaim atas Berhala oleh Kepri dan Jambi sebenarnya dilatari konflik kepentingan akibat persoalan batas wilayah. Namun menurutnya, berdasarkan penelusuran dokumen terkait ternyata secara administratif Kabupaten Lingga memang sudah eksis di Pulau Berhala. "Dan kalau disebut batas sebelah selatan di Selat Berhala, maka Pulau Berhala yang ada di sebelah utara jelas masuk Lingga," katanya.

Dipaparkannya pula, persoalan Berhala yang dibawa ke MK itu sebenarnya bukan karena adanya pertentangan antara UU dengan UUD 1945 (inkonstitusionalitas). Alasannya, konflik kewenangan muncul karena dua UU. 

Namun sesuai prinsip hukum bahwa aturan baru mengesampingkan aturan lama, maka UU Kabupaten Lingga yang terbit belakangan otomatis mengesampingkan UU Kepri yang menyebut Berhala masuk wilayah Jambi. "Dan faktanya efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di Berhala itu ada di bawah Kepri," ucapnya.

Ia juga mencontohkan sengketa Pulau Galang antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Kabupaten Gresik. Ternyata Gresik lebih berhak atas Pulau Galang karena ada keputusan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentang penerbitan sertifikat tanah di pulau yang terletak di laut Jawa itu. "Demikian pula dengan Berhala, ada akta nikah waganya yang dikeluarkan oleh KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Singkep," paparnya.

Selain menghadirkan saksi ahli, Kepri sebagai pihak terkait juga mengajukan saksi fakta, yakni Kepala Sub Dinas Hidro dan Oseanografi (Dishidros) TNI AL, Kolonel Samiyono. Menurutnya, dari berbagai pemetaan yang dilakukan termasuk dari jaman Hindia Belanda, letak Selat Berhala memang ada di sebelah selatan Pulau Berhala. "Peta pelayaran dari United Kingdom (Kerajaan Inggris) juga meletakkan Selat Berhala di sebelah selatan Pulau Berhala," ucapnya.

Sementara Wakil Gubernur Kepri Soerya Respationo yang ditemui usai menghadiri sidang di MK mengungkapkan optimismenya bahwa Pulau Berhala bakal tetap menjadi milik Kepri. Ditegaskannya, klaim Kepri atas Pulau Berhala bukannya tanpa dasar.

"Tadi di persidangan sudah terpapar oleh Pak Natabaya dan Prof Guntur bahwa ini bukan konflik UU dengan UUD, tapi UU dengan UU. Dan kita makin yakin karena sudah ada putusan MA," kata Soerya.

Rencananya sidang akan dilanjutkan pada Kamis, 28 Juni mendatang. Agendanya adalah menghadirkan saksi fakta seorang penjaga suar di Berhala dan seorang petugas Kantor Pertanahan Tanjungpinang. Selain itu, persidangan juga akan membandingkan peta-peta tentang letak Selat Berhala yang dianggap memicu perbedaan pendapat. (ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Marzuki: Angkut Rp300 M Pakai Truk


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler