Soal Usulan PDIP Agar Polri di Bawah TNI, PBHI Nilai Gagasan Emosional Gegara Hal Ini

Senin, 02 Desember 2024 – 17:29 WIB
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani menyoal usulan Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus agar Polri ditempatkan di bawah TNI atau Kemendagri. Ilustasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani menyoal usulan Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus agar Polri ditempatkan di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Dia menilai gagasan tersebut bersifat emosional, padahal semestinya gagasan reformasi Polri harus konstitusional.

BACA JUGA: Tolak Polri di Bawah Kemendagri, Ketum IMM: Usulan Reaktif Gegara PDIP Kalah Pilkada

Menurut Julius, gagasan PDIP dipahami bersifat emosional karena melihat beberapa situasi di mana Polri lebih condong sebagai mesin politik atau alat politik dari penguasa.

"Sementara di hadapan rakyat begitu banyak kasus-kasus kriminalisasi dan tindakan-tindakan represif, baik kekerasan pembunuhan secara melawan hukum (unlawful killing), bahkan kriminalisasi terhadap oposisi politik dan juga masyarakat pencari keadilan yang mengalami pelanggaran hak asasi," ujar Julius dalam keterangannya, Senin (2/12).

BACA JUGA: Soal Polri di Bawah TNI, Hikmahbudhi Nilai PDIP Sudah Mengkhianati Reformasi

Namun, kata Julius, gagasan tersebut tidak dapat menjawab semua problem yang sifatnya struktural dan sistemik dalam tubuh Polri.

Menurut Julius, kegagalan fundamental institusi Polri tidak hanya di level implementasi saja, melainkan sejak pada level konstitusi.

BACA JUGA: Ada Usul Polri di Bawah Kemendagri, Hendardi Singgung Amanat Reformasi

"Mandat Pasal 30 terkait dengan pertahanan dan keamanan tidak secara tegas dan jelas diturunkan ke dalam regulasi di bawah peraturan perundang-undangan sebagai tidak lanjut dari mandat konstitusi," ungkapnya.

Dia mengingatkan gagasan memisahkan sipil dan militer yang ditidaklanjuti dengan mengeluarkan Polri dari tubuh ABRI itu harus dipahami bahwa tugas pokok dan fungsi Polri ada pada ranah sipil, yaitu pada tiga kewenangan.

Pertama, penegakan hukum terpadu (Gakkumdu),

Fungsi-fungsi Gakkumdu ini harus berada pada satu rezim criminal justice system yang sifatnya integrated antara kepolisian selaku small investigator atau penyelidik dan penyidik, dan investigator juga pada Kejaksaan selaku penyidik dan penuntut umum, sekaligus pemegang kewenangan pengendali perkara, dan juga Mahkamah Agung atau hakim selaku pemeriksa di hadapan persidangan.

Kedua, tugas-tugas ketertiban umum (Tibum) yang kaitannya dengan izin keramaian, demonstrasi dan yang lain yang harusnya berada pada rezim pemerintahan daerah karena ketertiban umum disinkronisasi dengan fungsi-fungsi Satpol PP dan semacamnya.

Apabila masih pada titik ketertiban umum yang sifatnya administrasi dan penertiban biasa, maka masih di bawah kewenangan atau ranahnya pemerintah daerah.

Namun apabila fungsi ketertiban umum itu terjadi pelanggaran hukum, baru masuk kepada fungsi Gakkumdu di bawah Polri.

Ketiga, kaitannya dengan layanan masyarakat (yanmas) yang ini harusnya terlepas dari tugas pokok fungsi (tupoksi) Polri, misalnya seperti mengurus surat izin kelakuan baik, dan hal-hal administrasi yang tidak ada kaitannya dengan fungsi Gakkumdu berbasis pelanggaran hukum dan penegakan hukum.

Julius menilai ini yang harusnya ditindaklanjuti secara detail di bawah Pasal 30 UUD 1945.

"Bagaimana Pasal 30 itu tidak memiliki indikator yang jelas sehingga diterjemahkan secara bebas, bahkan terjun bebas, dan melenceng dari fungsi pertahanan dan keamanan itu sendiri," terangnya.

Menurut Julius, ini juga yang menjadi peluang masuk bagi TNI ke ruang-ruang sipil sehingga TNI mulai offside dengan melakukan penegakan hukum, TNI mulai menjaga ketertiban umum, bahkan ada di fasilitas-fasilitas publik yang sifatnya sipil seperti transportasi publik, stasiun kereta api, dan segala macamnya.

"Ini yang harusnya digagas oleh PDIP selama sepuluh tahun berkuasa, ini yang harusnya digagas oleh PDIP dalam kerangka revisi (amandemen) Pasal 30 UUD Tahun 45," imbuh Julius.

Karena itu, dia tidak heran pada tataran implementasi kemudian Polri bersifat represif.

Bahkan antihak asasi, karena perspektif itu tidak ada sejak konstitusi itu yang harus diperbaiki.

Kemudian, DPR dan partai politik itu seharusnya menjadi arena evaluasi rutin dan korektif terhadap performa atau level implementasi undang-undang oleh instansi-instansi pemerintah, termasuk Polri.

"Ini yang belum pernah terdengar. Selama ini kami mendengar kasus-kasus besar yang dihadapi oleh Polri, mulai dari Ferdy Sambo dan yang lain, justru disambut dengan puja-puji dan puisi. Bahkan puja-puji dan puisi di gedung parlemen yang harusnya berisi tentang kritik keras evaluasi dan gagasan reformasi atau perbaikan ke depan," sentil Julius.

Menurut Julius, hal ini yang kemudian menyebabkan terjadinya impunitas Polri yang hingga terjadi repetisi atau keberulangan atas implementasi yang buruk di tubuh Polri.

Dia mengatakan partai politik apalagi PDIP yang telah selama ini berkuasa dan saat ini masih menjadi partai yang berkuasa karena memenangkan Pemilu Legislatif 2024 harus menggagas perubahan struktural dan sistemin Polri.

"Itu yang ingin kami dengar dan itu yang dimandatkan oleh konstitusi, dan dimandatkan reformasi dan itu pula yang dapat menjamin hak asasi," pungkasnya. (mar1/jpnn)


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler