Sodorkan Enam Argumen untuk Sebut DPK-DPKTb Bermasalah

Selasa, 19 Agustus 2014 – 15:39 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah indikasi kecurangan yang mencuat dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dipicu penggunaan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).

Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, setidaknya ada enam argumen yang bisa diajukan untuk menyatakan DPK dan DPKTb bermasalah.

BACA JUGA: Tiga CAT CPNS, Jamin Aplikasinya Distandarisasi

Pertama, daftar pemilih yang diakui, dibenarkan dan sah menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pilpres hanya ada satu yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT).

"Tidak ada satu norma pun dalam UU Pilpres, baik secara implisit apalagi eksplisit, yang memerintahkan kepada KPU untuk menyusun DPK dan DPKTb," ujar Said dalam keterangan persnya, Selasa (19/8).

BACA JUGA: Pembuatan Soal CPNS Diambil Alih Pusat, Ini Alasannya!

Kedua, kewenangan yang diberikan UU Pilpres kepada KPU untuk menyusun daftar pemilih bersifat restriktif. Dengan kata lain, KPU hanya diberi wewenang untuk mengatur yang terkait dengan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan penetapan DPT seperti diatur dalam Pasal 29 ayat 6 UU Pilpres.

Argumen ketiga, DPK dan DPKTb bukanlah daftar pemilih yang dimaksud oleh Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009. Pasalnya, syarat dan cara yang diatur oleh KPU tentang DPK dan DPKTb justru bertentangan dengan syarat dan cara yang diatur dalam putusan tersebut.

BACA JUGA: Ketua KPK: Banyak Polisi tak Paham Gratifikasi

"Dalam putusan itu tegas disebutkan bahwa hanya KTP dan paspor yang diperbolehkan sebagai syarat bagi pemilih untuk memberikan suaranya di TPS. Tetapi KPU justru memperbolehkan Surat Keterangan domisili dari kepala desa/ lurah sebagai pengganti KTP," papar Said.

Masih lanjut Said, argumen keempat yakni syarat dan cara yang diatur untuk pemakaian KTP menurut Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 adalah dengan menyertakan Kartu Keluarga (KK). Namun, aturan itu justru diabaikan oleh KPU.

Kelima, secara sistem, DPK dan DPKTb tidak menciptakan kepastian hukum dan keadilan. Pasalnya, pemilih DPK dan DPKTb tidak pernah dialokasikan surat suaranya dan tidak mendapatkan jaminan surat suara.

Apalagi, UU Pilpres hanya menjamin surat suara bagi pemilih DPT dan surat suara itu hanya dicetak sejumlah pemilih DPT sesuai aturan dalam Pasal 108 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (4).

Said menekankan, pemilih DPK dan DPKTb itu sebetulnya adalah pemilih untung-untungan atau pemilih kelas dua yang diperlakukan secara berbeda dengan pemilih DPT. Kalau ada pemilih DPT yang tidak datang ke TPS atau pemilih DPT tidak menggunakan surat suara cadangan, barulah pemilih DPK dan DPKTb itu bisa memberikan suaranya dengan memanfaatkan surat suara pemilih DPT itu.

Argumen keenam yakni DPK dan DPKTb seharusnya tidak perlu ada karena rakyat sebetulnya telah memberikan dana yang begitu besar dalam jumlah triliunan rupiah kepada pemerintah dan KPU untuk menyusun data kependudukan dan DPT yang berkualitas.

"KPU tentu harus bertanggung jawab atas penggunaan uang rakyat itu. Besarnya anggaran untuk menyusun DPT harus setara dengan hasil kerja mereka menyusun DPT yang berkualitas," tandas Said. (dil/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dalilkan DPKTb Inkonstitusional, Prabowo Diangap Sakiti Hak Warga Negara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler