jpnn.com - JAKARTA - Doktor ilmu pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia Hasto Kristiyanto hadir di Universitas Paramadina, Selasa (21/3).
Kehadiran Hasto membawa diskursus baru tentang pemikiran pendiri bangsa, Soekarno atau Bung Karno.
BACA JUGA: Hamka Haq PDIP: Konflik Terjadi karena Ambisi Politik yang Mengatasnamakan Agama
Pemikiran Soekarno itu bahkan sempat dikaitan dengan Nurcholish Madjid atau Cak Nur.
“Ada persamaan pemikiran Soekarno dan Cak Nur? Ternyata sangat-sangat kuat relevansinya karena semuanya berkaitan dengan pembaharuan pemikiran politik maupun pemikiran dalam keislaman,” kata Wakil Rektor Universitas Paramadina Fatchiah E. Kertamuda.
BACA JUGA: Hadir di Universitas Paramadina, Hasto Memperkenalkan Pemikiran Geopolitik Soekarno
Fatchiah menyampaikan itu saat membuka diskusi bertema Unpacking Indonesia X Paramadina Democracy Forum (PDF) bertajuk "Diskursus Pemikiran Politik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara," di Universitas Paramadina, Selasa, (21/3).
Selain Hasto, hadir pula narasumber, antara lain, Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J Rachbini, pakar geopolitik Dr. Dina Sulaeman, pakar politik internasional Musa Alkadzim M.I.P, dan Dosen Universitas Paramadina Dr. A. Khoirul Umam. Diskusi dimoderatori oleh politikus senior Zulfan Lindan.
BACA JUGA: Hasto Menilai Anies Bisa Terbuka Matanya Setelah Berkunjung ke Surabaya
Dalam kesempatan itu, Hasto mengawali pembicaraannya dengan pantun yang juga membawa nama Cak Nur. “Kembangkan pemikiran Cak Nur bagi Indonesia dan dunia. Universitas Paramadina sangat ternama. Tradisi intelektualnya bangun kemajuan Indonesia bagi dunia,” ungkapnya.
Hasto merasa senang karena ketika hadir di Universitas Paramadina yang diperlihatkan kali pertama ialah perpustakaan. Menurutnya, hal ini menunjukkan tradisi intelektual para pendiri bangsa, yakni membaca buku.
“Saya sangat senang bertemu dengan teman-teman mahasiswa karena ini menunjukkan bahwa tradisi intelektual para pendiri bangsa itu dibangun dengan membaca buku. Buku sebagai jendela dunia, sebagaimana dalam tradisi intelektual Soekarno,” ungkap Hasto dikutip dari keterangan resminya.
Menurutnya, dengan membaca buku, mahasiswa mempunyai imajinasi akan masa depan. “Sebagaimana Cak Nur lakukan, kemudian membukukan dalam berbagai problematika rakyat bangsa dan negara, sehingga pada 1970-an beliau begitu visioner mengatakan bahwa Islam yes partai Islam no. Ini merupakan gambaran dari pemimpin visioner,” kata Hasto.
Oleh karena itu, lanjut Hasto, apabila dikaitkan dengan pemikiran atau tradisi intelektual Soekarno, maka sudah seharusnya semua untuk berpikiran ke luar, bukan lagi bertikai dan hanya ribut antarsesama anak bangsa.
Dari situlah, ujar Hasto, tercetus Konferensi Asia Afrika (KAA) yang memikirkan untuk menghapuskan kolonialisme. “Setelah KAA, lalu ada Perempuan Asia-Afrika, ada Dokter Anak Asia-Afrika. Karena Soekarno ingin anak-anak Indonesia tidak stunting tingginya 170 cm maka ada buku Mustika Rasa, memikirkan kecukupan gizi bagi Indonesia. Lalu, ada mahasiswa Asia-Afrika,” ungkap Hasto.
“Sekarang mana ada mahasiswa Asia-Afrika? Sekarang anda harus pimpin, gagas. Karena pemikiran Cak Nur itu lintas masa waktu tertentu dan visioner serta relevan. Sehingga anda harus pakai spirit itu. Dulu ada Bapak Emil Salim memimpin mahasiswa Asia-Afrika. Ada wartawan Asia-Afrika. Apakah kita punya leadership bertindak keluar,” sambungnya.
Hasto mengingatkan pentingnya menunjukkan kepemimpinan Indonesia dengan segala gagasannya.
“Apa yang dilakukan dengan ekspor petai dan jengkol, ini sangat penting kalau dilihat dalam spirit-nya, bagaimana komunitas Indonesia diterima di Jepang. Kita kuasai iptek agar bisa menjadi pemimpin bangsa-bangsa," kata Hasto penuh semangat.
Dia bahkan memberi penekanan lebih lanjut. “Daripada kaya, tetapi miskin gagasan. The power of idea ini sangat penting dalam teori geopolitik Soekarno,” pungkas Hasto Kristiyanto. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi