Pesan Gunung Krakatau, Waspadalah Pantai Barat Sumatera!

Selasa, 25 Desember 2018 – 22:38 WIB
Erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda (BNPB). Foto: istimewa

jpnn.com - 25 November 1883, dua bulan setelah ledakan Gunung Krakatoa yang legendaris itu, gempa besar disertai tsunami mengguncang Pantai Barat Sumatera. Mari belajar dari sejarah…
 
WENRI WANHAR – JAWA POS NATIONAL NETWORK
 
Malam ini, Selasa (25/12) ada kabar dari seorang kawan lama yang tinggal di  Lampung. “Gunung Anak Krakatau meletus. Letusannnya kedengaran berkali-kali,” katanya.
 
Sebagaimana diketahui, beberapa hari lalu air laut di Selat Sunda naik. Menjilati bibir pesisir Banten dan Lampung.
 
Menelaah sejarah, pesisir Lampung dan Banten juga pernah dilumat air laut karena gejolak Gunung Krakatoa—induknya Anak Krakatau—pada 27 Agustus 1883.
 
Ratusan laporan internasional mencatat peristiwa itu.
 
Muhammad Saleh, saksi mata selamat di Lampung menarasikannya dalam Syair Lampung Karam. Ong Leng Yauw, saksi mata di Banten juga mencatat kejadian itu.
 
Yang juga perlu diketahui, dua bulan setelah ledakan induk Gunung Anak Krakatau tersebut, gempa besar disertai apa yang kini disebut tsunami melanda Pantai Barat Sumatera.

Pejabat kolonial Hindia Belanda, Letnan I Infanteri J.C Boelhouwer melapokannya dalam Ridder van de Militaire Willems Orde Kelas IV.

BACA JUGA: Nizar Sebut Keselamatan Rakyat Bukan Prioritas Jokowi

Hari itu, 25 November 1883. Sekira pukul 10 malam. Boelhouwer—orang yang bertugas menumpas Perang Padri—sedang bertamu ke rumah seorang pejabat Belanda.

Tetiba bumi berguncang. Gempa berkisar 8,8 SR hingga 9,2 SR. 
 
“Dia melihat seorang nona yang duduk di atas bangku, hampir saja meluncur sebelum dipegang oleh beberapa orang pemuda,” ungkap Yose Hendra, sejarawan dari Universitas Andalas Padang, peneliti sejarah gempa, kepada JPNN.com.
 
Di beberapa tempat, lanjutnya, tanah terbelah selebar dua kaki atau lebih. Laut bergolak dengan dahsyat. Semua perahu yang sedang tertambat di pelabuhan Pariaman dan Padang hanyut jauh dan terpencar.

BACA JUGA: Terdengar Teriakan Tsunami, Ibu Bupati Ikut Panik dan Lari

Beberapa hari kemudian, Boelhouwer mencatat, bahwa dirinya masih merasakan guncangan-guncangan gempa dengan skala kecil.

Akibatnya, di Padang sejumlah rumah batu, termasuk gereja, rusak parah. Gereja malah tak bisa dipakai lagi.

BACA JUGA: 3 Hari Usai Tsunami, 6 Desa di Pandeglang Belum Terjangkau

Dalam perjalanan ke Padang, dia juga menemukan beberapa parit perlindungan yang rusak berat di pantai.

Di Bengkulu, dia mendengar seluruh dermaga hancur, kecuali kantor bea cukai.

Cerita itu juga dikisahkan Boelhouwer dalam memoar Kenang-Kenangan Di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834

“Gempa dan tsunami yang melanda Pariaman hingga Bengkulu di tahun 1833 ini, sering dijadikan sebagai dalih bahwa gempa dan tsunami di pantai barat Sumatera adalah siklus 200 tahun, dengan melihat terjadinya bencana yang sama di Aceh tahun 2004,” papar Yose.

Merujuk catatan NOAA, dalam empat abad terakhir, sejak tahun 416, puluhan tsunami yang melanda Pantai Barat Sumatera, penyebabnya bukan hanya akibat gempa tektonik di laut dan darat.

Tapi juga akibat letusan gunung api, seperti Krakatau.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) adalah lembaga di Amerika Serikat yang mengaji kondisi atmosfir dan laut, termasuk pencatat kejadian tsunami yang pernah ada di muka bumi.
 
Lembaga ini menjadi penyedia data soal tsunami yang terbilang akurat dan paling lengkap.
 
Untuk lebih spesifiknya, di bawah kelembagaan ini pun dibentuk semisal National Climatic Data Center-NCDC (Pusat Data Iklim Nasional), National Geophysical Data Center-NGDC (Pusat Data Geofisika Nasional), dan National Oceanographic Data Center-NODC (Pusat Data Oseanografi Nasional).
 
Semua kelembagaan ini terintegrasi dalam satu data bernama National Centers for Environmental Information (NCEI) atau Pusat Nasional untuk Informasi Lingkungan.
 
Dalam hasil penelitiannya yang telah dibukukan, Mentawai—Potret Kebencanaan Pulau Terluar, Yose Hendra juga menjelaskan, Pantai barat Sumatera merupakan simpul Pacific Ring of Fire, yaitu sebuah zona dimana sangat sering terjadi gempa bumi dan meletusnya gunung berapi.
 
Lebih dari 90 persen gempa bumi yang terjadi di dunia, dan sekitar 81 persen gempa berkategori kuat terjadi di zona ini.
 
Berada di simpul seismik dunia, pantai barat Sumatera menjadi sumber subduksi, salah satu sumber gempa bumi.
 
Subduksi atau penekukan terjadi ketika lempeng samudra bertabrakan dengan lempeng benua yaitu pertemuan dua lempeng samudera Indo–Australia dan lempeng Eurasia.
 
Zona subduksi membujur dari Laut Andaman, membujur di pantai barat Sumatera, hingga melingkar ke pantai selatan Jawa dan perarairan bagian timur Indonesia.
 
Proses subduksi akan terus berproses, sehingga gempa bumi pun akan terus berlangsung.

“Hal inilah yang menjadi sumber gempa yang juga bisa memicu tsunami,” tulis Yose.
 
Nah, Anak Krakatau baru saja meletus. Petatah-petitih tua menabalkan, pengalaman adalah guru yang paling berharga.  
 
Pada 1883, leluhurnya telah memberi pelajaran. Mari belajar dari sejarah… (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Salah Beritakan Band Seventeen, Media Prancis Dikritik Fan


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler