JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyayangkan sikap pemerintah untuk menaikkan cukai rokok bagi pabrik yang dimiliki para pengusaha rokok yang masih bertalian keluarga. Pemerintah telah menuangkan kebijakan tersebut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/2013 tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Tembakau.
Sofjan menuding, PMK 78 hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menutupi kegagalan para birokrat dalam mengawasi kebocoran pendapatan negara dari cukai. Padahal, banyaknya praktek kecurangan cukai rokok disebabkan karena lemahnya pengawasan.
“Aturan ini tidak ada gunanya, justru bisa dimanfaatkan untuk memeras pengusaha rokok skala kecil,” ungkap Sofjan dalam siaran pers yang diterima JPNN, Minggu (18/5).
Apalagi, lanjutnya, pola binis perusahaan rokok yang menguasai pasar di tanah air tidak lagi mengandalkan hubungan keluarga sedarah atau semenda dua derajad. Aturan ini tidak berguna karena korbannya adalah perusahaan-perusahaan rokok kecil.
“Pemerintah harusnya bijak dengan membuat aturan agar tidak mematikan industri rokok nasional. Saya yakin tidak ada yang berani macam-macam mengakali cukai rokok, karena itu pemerintah harus konsiten melakukan pengawasan. Jadi tidak asal bikin aturan,“ tegasnya.
PMK 78 tersebut ditetapkan 12 April lalu dan mulai berlaku pada 12 Juni 2013 mendatang. Potensi kenaikan cukai rokok karena hubungan keluarga ini tercantum dalam 2 huruf d pada PMK No. 78/2013. Hubungan keluarga yang dimaksud adalah hubungan sedarah dan hubungan semenda dua derajad
Selain mengatur hubungan keluarga, PMK ini juga mengatur pembatasan hubungan keterkaitan lain, yakni: permodalan, manajemen, penggunaan tembakau iris yang diperoleh dari pengusaha pabrik lain yang punya penyertaan modal minimal 10%.
Hasan Aoni Aziz US, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), jelas kecewa dengan aturan yang sangat diskriminatif dan potensial melanggar hak azasi manusia tersebut. “Industri rokok kretek nasional mati bukan karena persaingan pasar, namun karena regulasi pemerintah,” kecamnya.(esy/jpnn)
Sofjan menuding, PMK 78 hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menutupi kegagalan para birokrat dalam mengawasi kebocoran pendapatan negara dari cukai. Padahal, banyaknya praktek kecurangan cukai rokok disebabkan karena lemahnya pengawasan.
“Aturan ini tidak ada gunanya, justru bisa dimanfaatkan untuk memeras pengusaha rokok skala kecil,” ungkap Sofjan dalam siaran pers yang diterima JPNN, Minggu (18/5).
Apalagi, lanjutnya, pola binis perusahaan rokok yang menguasai pasar di tanah air tidak lagi mengandalkan hubungan keluarga sedarah atau semenda dua derajad. Aturan ini tidak berguna karena korbannya adalah perusahaan-perusahaan rokok kecil.
“Pemerintah harusnya bijak dengan membuat aturan agar tidak mematikan industri rokok nasional. Saya yakin tidak ada yang berani macam-macam mengakali cukai rokok, karena itu pemerintah harus konsiten melakukan pengawasan. Jadi tidak asal bikin aturan,“ tegasnya.
PMK 78 tersebut ditetapkan 12 April lalu dan mulai berlaku pada 12 Juni 2013 mendatang. Potensi kenaikan cukai rokok karena hubungan keluarga ini tercantum dalam 2 huruf d pada PMK No. 78/2013. Hubungan keluarga yang dimaksud adalah hubungan sedarah dan hubungan semenda dua derajad
Selain mengatur hubungan keluarga, PMK ini juga mengatur pembatasan hubungan keterkaitan lain, yakni: permodalan, manajemen, penggunaan tembakau iris yang diperoleh dari pengusaha pabrik lain yang punya penyertaan modal minimal 10%.
Hasan Aoni Aziz US, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), jelas kecewa dengan aturan yang sangat diskriminatif dan potensial melanggar hak azasi manusia tersebut. “Industri rokok kretek nasional mati bukan karena persaingan pasar, namun karena regulasi pemerintah,” kecamnya.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Proposal Kenaikan BBM Masuk ke DPR
Redaktur : Tim Redaksi