PURWOKERTO- Kelangkaan solar bersubsidi di SPBU masih saja terus berlangsung. Tak ayal, supir-supir angkutan, mulai dari bus, angkot dan truk kelimpungan. Penasehat Organda Banyumas, Sutanto menuturkan, beberapa hari lalu, 40 orang yang merupakan sopir dan pengusaha angkutan mendatangi Organda karena sulitnya mendapatkan solar.
Dia menyatakan, sehari-harinya, para sopir malah kadang-kadang hanya berputar-putar untuk mencari jenis solar. Akibatnya, pekerjaan sebagai sopir untuk mengantar penumpang terbengkalai.
"Sopir dan pengusaha pada saat pertemuan malah membahas, kalau memang harus naik, ya sekalian saja. Silakan. Yang penting, barangnya ada," ucapnya.
Menurut dia, ada sekitar 50 persen angkutan yang tidak berangkat akibat kesulitan solar. Mulai dari truk-truk pengangkut barang, bus tiga perempat. "Semuanya terganggu. Pengusaha angkutan pusing dengan keadaan seperti ini. Kalau suruh beli solar non subsidi jelas tidak akan mampu. Mending tidak berangkat sekalian," kata dia.
Salah satu sopir bus Prayoga jurusan Jogjakarta-Purwokerto, Etenadi mengatakan, pernah kata dia, dari Jogja sampai Purwokerto dia mendapat solar di Kebumen. Sekalinya mendapatkan solar, tambah dia, hanya dijatah Rp 200 ribu. Padahal, kebutuhan solar sekali jalan adalah Rp 350 ribu.
Akibat susah solar, kondektur bus Mulyo, Alek Wijaya juga kebingungan. Kadang, kata dia, bus terus berputar-putar untuk mencari solar. "Ketika berangkat maka bisa berangkat. Namun, saat kembali bingung untuk mengisi solar lagi," kata Alek sambil menambahkan akibat lain, adalah keterlambatan jadwal karena harus mencari solar.
Sementara, dari Banjarnegara dilaporkan, Sarwono, seorang pembajak dengan traktor mengatakan lebih enak sebelum pembelian solar belum dibatasi. "Kalau dulu waktu masih dijual eceran, tidak perlu jauh-jauh untuk membeli solar," katanya. Namun setelah dibatasi, ia harus membeli solar di SPBU. "Itu juga harus pakai surat rekomendasi," kata dia.
Nurhisam, seorang perajin tahu mengaku takut kalau harga kedelai menjadi naik bila solar dibatasi atau sulit diperoleh. Bila solar sulit diperoleh dikhawatirkan akan meningkatkan biaya distribusi. "Sekarang per kilogram untuk kedelai yang untuk tahu Rp 7.600," katanya. Ia mengatakan sebelumnya harga kedelai lebih tinggi antara Rp 7.700 hingga Rp 7.800 per kilogramnya.
Sales Representative BBM Retail Region IV Pertamina Pemasaran Jateng-DIY Angga Yudi Winata mengatakan pembelian solar masih dilayani. "Tapi dengan membawa surat rekomendasi," katanya. Dengan demikian, sektor usaha kecil yang dalam proses produksinya tetap bisa berjalan. (ttg/drn/tya)
Dia menyatakan, sehari-harinya, para sopir malah kadang-kadang hanya berputar-putar untuk mencari jenis solar. Akibatnya, pekerjaan sebagai sopir untuk mengantar penumpang terbengkalai.
"Sopir dan pengusaha pada saat pertemuan malah membahas, kalau memang harus naik, ya sekalian saja. Silakan. Yang penting, barangnya ada," ucapnya.
Menurut dia, ada sekitar 50 persen angkutan yang tidak berangkat akibat kesulitan solar. Mulai dari truk-truk pengangkut barang, bus tiga perempat. "Semuanya terganggu. Pengusaha angkutan pusing dengan keadaan seperti ini. Kalau suruh beli solar non subsidi jelas tidak akan mampu. Mending tidak berangkat sekalian," kata dia.
Salah satu sopir bus Prayoga jurusan Jogjakarta-Purwokerto, Etenadi mengatakan, pernah kata dia, dari Jogja sampai Purwokerto dia mendapat solar di Kebumen. Sekalinya mendapatkan solar, tambah dia, hanya dijatah Rp 200 ribu. Padahal, kebutuhan solar sekali jalan adalah Rp 350 ribu.
Akibat susah solar, kondektur bus Mulyo, Alek Wijaya juga kebingungan. Kadang, kata dia, bus terus berputar-putar untuk mencari solar. "Ketika berangkat maka bisa berangkat. Namun, saat kembali bingung untuk mengisi solar lagi," kata Alek sambil menambahkan akibat lain, adalah keterlambatan jadwal karena harus mencari solar.
Sementara, dari Banjarnegara dilaporkan, Sarwono, seorang pembajak dengan traktor mengatakan lebih enak sebelum pembelian solar belum dibatasi. "Kalau dulu waktu masih dijual eceran, tidak perlu jauh-jauh untuk membeli solar," katanya. Namun setelah dibatasi, ia harus membeli solar di SPBU. "Itu juga harus pakai surat rekomendasi," kata dia.
Nurhisam, seorang perajin tahu mengaku takut kalau harga kedelai menjadi naik bila solar dibatasi atau sulit diperoleh. Bila solar sulit diperoleh dikhawatirkan akan meningkatkan biaya distribusi. "Sekarang per kilogram untuk kedelai yang untuk tahu Rp 7.600," katanya. Ia mengatakan sebelumnya harga kedelai lebih tinggi antara Rp 7.700 hingga Rp 7.800 per kilogramnya.
Sales Representative BBM Retail Region IV Pertamina Pemasaran Jateng-DIY Angga Yudi Winata mengatakan pembelian solar masih dilayani. "Tapi dengan membawa surat rekomendasi," katanya. Dengan demikian, sektor usaha kecil yang dalam proses produksinya tetap bisa berjalan. (ttg/drn/tya)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penambang Pasir Ilegal Beroperasi di Sekitar Bandara Hang Nadim
Redaktur : Tim Redaksi