Sontekan Penalti Dahlan Iskan

Rabu, 07 Maret 2012 – 02:48 WIB

PRESIDEN SBY sudah memberi sinyal. Menegpora Andi Malarangeng sudah angkat bicara. Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman sudah bersuara. Semua stakeholders sepak bola sudah bersikap.

Siapa lagi ditunggu? Apa lagi dicari? Solusi darimana lagi diharap? Ungkapan pejabat di atas sudah "tersirat" semua mengalir pada satu muara: Silakan selesaikan urusan kalian sendiri! Jangan berantem melulu!

Rakyat makin bosan mendengar konflik sengit pengurus! Publik makin jengah, sepak bola dijadikan arena adu mulut, perang urat syaraf, caci maki dan saling lempar tanggung jawab! Urusan prestasi, pembinaan, dan mutu kompetisi justru terabaikan sama sekali. Pengurus lebih popular daripada pemain dan pelatih yang berkeringat di lapangan.

Masalahnya: Apa mereka bisa menyelesaikan urusan sendiri? Darimana pintunya? Pakai jenis apa kuncinya? Haruskah pemerintah men-take over? Haruskah diintervensi birokrasi? Tentu, dengan segala risiko, termasuk dihukum FIFA? Demi menata ulang sepak bola nasional yang mulai lebai itu?

Di sisi lain, 18 Maret 2012 nanti, masih akan ada agenda "luar biasa". PSSI menggelar Kongres Tahunan di Palangkaraya, Kalteng. Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) juga merancang Kongres Luar Biasa (KLB) yang juga mengundang anggota dan pemilik suara PSSI di Mercure, Ancol, Jakarta.

Betul-betul dua rencana "luar biasa", waktunya bersamaan, temanya sama-sama soal bola, yang diurus juga sama -dunia sepak bola-, peserta mewakili daerah-daerah yang sama, tetapi pesertanya beda muka, beda kepala.

Hasilnya pun sudah bisa ditebak, pasti "luar biasa". Dualisme kepengurusan, dua kompetisi tidak bisa dihindarkan. Rekonsiliasi yang digagas banyak pihak sebagai obat paling moderat, tinggal angan-angan. Artinya, suara Presiden SBY, Menegpora Andi Malarangeng, Ketum KONI Pusat Toto Suratman itu seolah hanya numpang lewat, didengar di kuping kiri, menguap di kuping kanan.

Tak ada lagi suara yang terdengar nyaring, yang masuk telinga, diolah di otak, turun ke hati dan dikemas menjadi sikap dan spirit bersama membangun sepak bola nasional, demi Merah Putih! Saya tidak menangkap papan rambu-rambu ke arah sana.

Bos saya (baca: Dahlan Iskan, Meneg BUMN RI, red) punya ide spontan yang mengagetkan, saat acara Re-Launcing Buku berjudul Ganti Hati, Dua Tangis dan Ribuan Tawa, serta buku No Such Thing as Can"t  yang dalam edisi bahasa Indonesia bercover Tak Ada Yang Tak Bisa oleh Kompas Gramedia di Istora Senayan, Jakarta pekan lalu. Yang bisa menyelesaikan gonjang-ganjing PSSI ini dengan cepat ada dua pengusaha besar, namanya: Nirwan D Bakrie dan Arifin Panigoro.

"Mengapa Nirwan tidak bikin satu tim sepak bola yang superkuat. Lalu Arifin Panigoro juga membentuk satu tim yang sangat kuat juga! Seluruh energi dikerahkan habis-habisan untuk membangun tim yang terhebat. Lalu kedua tim itu berantem di lapangan. Pasti itu lebih seru daripada berantem di kepengurusan PSSI!‚" sebut Dahlan Iskan yang disambut tepuk tangan riuh sekitar 200 audience yang serius menyimak kata demi kata yang diucap mantan Dirut PLN ini. 

"Sehingga kelak, kompetisi sepak bola Indonesia punya dua tim raksasa yang luar biasa hebat! Seperti Barcelona dan Real Madrid di La Liga Spanyol sana," lanjut Dahlan, sambil memberi contoh bahwa pertarungan sesungguhnya ada di lapangan selama 2x90 menit, bukan di institusi yang menjadi regulator kompetisi. Tepuk tangan pun semakin kencang atas ide yang sama sekali tidak diduga-duga itu.

Dahlan memang suka menyederhanakan hal-hal yang semula dirasa rumit. "Tendangan penalti" di atas adalah contohnya. To the point, langsung ke gawang! Itulah bedanya orang politik dengan pengusaha dan profesional. Kalau politisi, yang simple bisa dibuat rumit dan complicated. Kalau pikiran pengusaha, yang ruwet bisa diurai menjadi sangat simple, mudah dan cepat.

Tapi, Nirwan dan Panigoro kan pengusaha dan profesional? Ya, sekarang lagi ngetrend, pengusaha dan profesional menjadi politisi, atau sebaliknya politisi jadi pengusaha dan profesional. Jalan pikiran dan gerakannya pun bisa terkontaminasi.

Lalu pertanyaan berikutnya, apa mungkin? Meminta kedua tokoh di belakang IPL (Indonesia Premier League) dan ISL (Indonesia Super League) untuk retreat  dari campur tangan badan regulasi (PSSI, red)? Lalu concern di klub atau membentuk tim masing-masing? Apa bisa? Apa mau? Mereka kan sudah bermodal untuk sampai di posisi saat ini? Dahlan optimis kedua tokoh itu mau dan bisa! "Mereka kan terbukti sama-sama memiliki kecintaan terhadap sepak bola yang luar biasa!" ucapnya.

Nah, Presiden SBY, Menegpora Andi M, dan Ketum KONI Toto S sudah memberi arah jangka panjang sepak bola nasional. Dahlan Iskan melontarkan taktik jangka pendek dan menengah. Terus siapa yang mengeksekusi? Siapa yang secara teknis bisa menerjemahkan suara-suara yang sudah bermuara di titik yang sama itu? Karena semua pihak sudah tidak dianggap netral? Kalau tidak dicap kubu IPL, yang disebut mata-mata kubu ISL?

Lagi-lagi, inilah kekeliruan melihat sepak bola nasional saat ini. Sebagai sport, semestinya sepak bola itu dekat dengan entertainmen. Karena itu, sudah sejak lama INDOPOS menyebut halaman olahraga sebagai "Sportainment".

Olahraga itu adalah hiburan yang berkeringat, hiburan sehat, show yang bernilai seni, atau art yang universal. Di mana pun penggemar sepak bola, pasti suka melihat aksi Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Wayne Rooney, David Becham, dan lainnya.

Tetapi, sport di negeri ini terlalu kencang ditarik-tarik ke area politik. Maka istilah dukung mendukung, bargaining, jual beli suara, kongres, voting, suara terbanyak, tata tertib, boikot, pro dan kontra, rasanya lebih memberi warna daripada kata-kata: pembinaan, bintang lapangan, gol-gol indah, dan sebangsanya. Sepak bola kita sudah tercemar oleh aroma politik.

Kekalahan spektakuler, 0-10 dari Bahrain, di Pra Piala Dunia 2014 lalu juga lebih mengemuka analisis dimensi politik, sadar atau tidak sadar. Orang menyebut, itu gara-gara timnas hanya mengakses pemain dari geng IPL? Tidak mengakomodasi bintang-bintang ISL? Kekuasaan lebih menonjol, daripada fakta dan pertimbangan kualitas pemain?

Ketum PSSI Johar Arifin Husin juga memberi jawaban yang bisa ditafsirkan bernuansa hukum dan politik. Dia berlindung di bawah aturan dan hukum FIFA. Kata dia, FIFA melarang pemain ISL di timnas. Kok bisa begitu?

Apa iya, FIFA melarang pemain yang kualitas skill-nya lebih baik? Performance dan pengalamannya lebih teruji? Apa iya FIFA tidak menghendaki pemain Timnas Merah Putih terbaik yang bersaing di Pra Piala Dunia? Seolah-olah FIFA yang salah, bukan PSSI yang ngotot mencari jalan untuk menerjunkan squad terbaiknya? It"s ok, itu sudah terjadi.

Semoga, masyarakat Indonesia segera melupakan sejarah kelam itu. Kita amati saja 18 Maret nanti menghasilkan apa? Apakah term politik dan hukum yang mengemuka? Atau sudah insyaf ke jalan yang benar, yakni menggunakan bahasa-bahasa sepak bola, yang sportif dan istilah yang menghibur? Viva sepak bola nasional! (*)
 
Penulis adalah Pemimpin Redaksi dan Direktur Indopos
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ferrari Ferrari


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler